BAB I
PENDAHULUAN
Kata rekonstruksionisme berasal dari bahasa Inggris reconstruct, yang berarti menyusun kembali. Dalam filsafat pendidikan, rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme pada dasarnya sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran manusia. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George count, Caroline Pratt dan Harold Rugg pada tahun 1930 yang ingin membangun masyarakat baru yang pantas dan adil.
Masalah yang ada dalam aliran filsafat pendidikan rekonstruksionisme yaitu mengenai tujuan pendidikan yang berkenaan dengan sosial, ekonomi dan politik dalam suatu masyarakat global yang saling ketergantungan, kemudian masalah mengenai peranan guru, dimana guru harus menyadarkan si pendidik terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia.
Dengan adanya aliran filsafat pendidikan rekonstruksionisme menimbulkan banyak pertanyaan yaitu bagaimana pandangan aliran filsafat pendidikan rekonstruksionisme terhadap pendidikan?, dimana letak rekonstruksi masyarakat dalam aliran filsafat pendidikan rekonstruksionisme?, mengapa aliran filsafat pendidikan rekonstruksionisme berhubungan dengan gerakan progresivisme?, kemudian apakah tujuan yang akan dicapai oleh aliran filsafat pendidikan rekonstruksionalisme?. Dalam makalah ini akan kita bahas mengenai jawaban semua pertanyaan tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Filsafat Pendidikan Rekonstruksionisme
Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat umum, maka jika membahas filsafat pendidikan akan berangkat dari filsafat. Dalam arti, filsafat pendidikan pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil dari filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai. Dalam filsafat terdapat mazhab aliran-aliran, seperti materialisme, idealisme, realisme, pragmatisme, dan lain-lain. Karena filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, sedangkan filsafat beraneka ragam alirannya, maka dalam filsafat pendidikan pun kita akan temukan berbagai aliran, sekurang-kurangnya sebanyak aliran filsafat itu sendiri. Brubacger (1950) mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu filsafat pendidikan “progresif” dan filsafat pendidikan “konservatif”. Yang pertama didukung oleh filsafat pragmatisme dari John Dewey, dan romantic naturalisme dari Roousseau. Yang didasari oleh filsafat idealisme, realisme humanisme (humanisme rasional), dan supernaturalisme atau realisme religious. Filsafat-filsafat tersebut melahirkan filsafat pendidikan esensialisme, perenialisme, dan sebagainya.
Dalam kegunaan pragmatis, fenomena yang terjadi bukan berarti hanya standarisasi pragmatis. Konsep dalam perguruan tinggi yang masa dulu sebagai konsep dalam perguruan tinggi yang masa dulu sebagai konsep link and match, di dalamnya berakar dari pragmatisme yang parsial. Sebagaimana yang dikritik oleh rekonstruksionisme, sebagaimana dikatakan Jan Hendrik Rapar (1966:83), merupakan reformasi sosial yang menghendaki renaissance sivilisasi modern. Para pendidik rekonstruksionisme melihat pendidikan dan reformasi sosial itu sesungguhnya sama, dan kurikulum dijadikan sebagai problem centered yang merupakan pembentukan ordo sosial baru.
Guna membangun kerasnya peradaban yang baru, progresivisme memberikan warna bahwasanya pendidikan bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan, melainkan kemampuan dan keterampilan berfikir dengan memberikan rangsangan yang tepat. John Dewey (tokoh pragmatisme), yang termasuk dalam golongan progresivisme menyatakan sekolah adalah instiusi sosial dan pendidikan sendiri adalah suatu proses sosial. Selanjutnya, pendidikan adalah proses kehidupan (process of living), bukan sebagai persiapan masa depan. Pendidikan adalah proses kehidupan itu sendiri, maka kebutuhan individual anak didik harus diutamakan, bukan subject matter (Rapar, 1996:83).
Kemudian bahwasanya letak rekonstruksionisme masyarakat dalam aliran filsafat pendidikan rekonstruksionisme yaitu dikurikulum. Karena kurikulum merupakan subjek matter yang berisikan masalah-masalah sosial, ekonomi, dan politik yang dihadapi umat manusia termasuk masalah-masalah sosial dan pribadi terdidik itu sendiri, jadi kurikulum ini adalah alat melakukan rekonstruksi masyarakat, agar pendidikan dapat dicapai melalui perubahan kurikulum dan dapat mewujudkan tujuan pendidikan yang diinginkan.
B. Asal Aliran Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresivisme. Gerakan ini lahir didasarkan atas suatu anggapan bahwa kaum progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyrakat yang ada sekarang. Selain itu, mazhab ini juga berpandangan bahwa pendidikan hendaknya memelopori melakukan pembaharuan kembali atau merekonstruksi kembali masyarakat agar menjadi lebih baik.karena itu pendidikan harus mengembangkan ideology kemasyarakatan yang demokratis.
Alasan mengapa rekonstruksionisme merupakan kelanjutan dari gerakan progresif hanya memikirkan dan melibatkan diri dengan masalah-masalah masyarakat yang ada pada saat sekarang ini. Dalam aliran rekonstruksionisme berusaha menciptakan kurikulum baru dengan memperbaharui kurikulum lama. Progresivisme pendidikan didasarkan pada keyakinan bahwa pendidikan harus terpusat pada anak bukannya memfokuskan pada guru atau bidang studi. ini berkelanjutan pada pendidikan rekonstruksionisme yaitu guru harus menyadarkan sipendidik terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia untuk diselesaikan, sehingga anak didik memiliki kemampuan memecahkan masalah tersebut.
C. Pengaruh Rekonstruksionisme Terhadap Kehidupan Manusia
Aliran ini memandang manusia sebagai makhluk sosial. Manusia tumbuh dan berkembang dalam keterkaitannya dengan proses sosial dan sejarah dari pada masyarakat. Pendidikan mempunyai peranan untuk menandakan pembaharuan dan pembangunan masyarakat (Barnadib, 1996:63). Perkembangan ilmu dan teknologi tidak hanya memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi masyarakat, namun juga membawa dampak negatif. Masyarakat yang hidup damai berangsur-berangsur diganti oleh masyarakat yang coraknya tidak menentu dan tiada kemantapan, serta yang lebih penting dari itu lepasnya individu dalam keterkaitannya dengan masyarakat dan adanya ketersaingan. Hal ini menciptakan budaya hegemoni sebagai ideologi.
George F. Kneller (1984:195) membuat ikhtisar pandangan Michael W. Apple tentang ideologi tersebut:
• Pandangan bahwa kemajuan itu tergantung dari sains dan industry
• Suatu kepercayaan dalam masyarakat bahwa agar orang mampu menyumbangkan jasanya dalam masyarakat kompetitif
• Kepercayaan bahwa hidup yang memadai sama dengan menghasilkan dan mengkonsumsikan barang dan jasa bagi masyarakat.
Sehingga menurut Apple ketiganya tercermin dalam kurikulum sekolah. Agar keadaan masyarakat dapat diperbaiki, pendidikan menjadi wahana penting untuk rekonstruksi. Hal tersebut yang menyebabkan tumbuhnya pikiran kritis rekonstruksionisme yang terjadi dalam masyarakat, sehingga dapat dikatakan rekonstruksi sebagai tujuan mencari titik kebenaran melalui lembaga pendidikan.
Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Aliran rekonstruksionisme, pada prinsipnya, sepaham dengan aliran perenialisme, yaitu hendak menyatakan krisis kebudayaan modern. Kedua aliran tersebut, aliran rekonstruksionisme dan perenialisme, memandang bahwa keadaan sekarang merupakan zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kehancuran, kebingungan dan kesimpangsiuran.
Walaupun demikian, prinsip yang dimiliki oleh aliran rekonstruksionisme tidaklah sama dengan prinsip yang dipegang oleh aliran perenialisme. Keduanya mempunyai visi dan cara yang berbeda dalam pemecahan yang akan ditempuh untuk mengembalikan kebudayaan yang scrasi dalam kehidupan. Aliran perennialisme memilih cara tersendiri, yakni dengan kembali ke alam kebudayaan lama atau dikenal dengan regressive road culture yang mereka anggap paling ideal. Sementara itu aliran rekonstruksionisme menempuhnya dengan jalan berupaya mem¬bina suatu konsensus yang paling luas dan mengenai tujuan pokok dan tertinggi dalam kehidupan umat manusia.
D. Pokok-Pokok Konsep Rekonstruksionisme
Aharianto menjelaskan pokok-pokok konsep rekonstruksionisme sebagai berikut:
• Pendidikan harus menciptakan tatanan social yang baru sesuai dengan nilai-nilai dan kondisi sosial yang baru.
• Masyarakat baru
• Anak, sekolah, dan pendidikan dipengaruhi oleh kekuatan sosial budaya
• Guru meyakinkan murid tentang kebenaran dan memecahkan masalah melalui rekonstruksi sosial secara demokratis
• Memperbaharui tujuan dan cara-cara yang dipakai pendidikan
E. Pandangan Rekonstrksionisme Dan Penerapannya Di Bidang Pendidikan
Pandangan aliran filsafat pendidikan rekonstruksionisme terhadap pendidikan yaitu pertama kita harus mengetahui pengertian dari filsafat. Yangmana filsafat merupakan induk dari segala ilmu yang mencakup ilmu-ilmu khusus. Menurut pendapat Runes (1971:235), bahwa filsafat adalah keterangan rasional tentang sesuatu yang merupakan prinsip umum yang kenyataannya dapat dijelaskan dengan membedakan pengetahuan rasional dan pengetahuan empiris (sains).
Filsafat bagi pendidikan adalah teori umum sehingga dapat menjadi pilar bagi bangunan dunia pendidikan yang berusaha memberdayakan setiap pribadi warga negara untuk mengisi format kebudayaan bangsa yang didinginkan dan diwariskan. Aliran rekonstruksionisme adalah sepaham dengan aliran perenialisme dalam tindakan mengatasi krisis kehidupan modern.
Aliran rekonstruksionisme berkeyakinan bahwa tugas penyelamatan dunia merupakan tugas semua umat manusia atau bangsa. Karenanya pembinaan kembali daya intelektual dan spiritual yang sehat akan membina kembali manusia melalui pendidikan yang tepat atas nilai dan norma yang benar pula demi generasi sekarang dan generasi yang akan datang, sehingga terbentuk dunia baru dalam pengawasan umat manusia.
Kemudian aliran ini memiliki persepsi bahwa masa depan suatu bangsa merupakan suatu dunia yang diatur, diperintah oleh rakyat secara demokratis dan bukan dunia yang dikuasai oleh golongan tertentu. Sila-sila demokrasi yang sungguh bukan hanya teori tetapi mesti menjadi kenyataan, sehingga dapat diwujudkan suatu dunia dengan potensi-potensi teknologi, mampu meningkatkan kualitas kesehatan, kesejahteraan dan kemakmuran serta keamanan masyarakat tanpa membedakan warna kulit, keturunan, nasionalisme, agama (kepercayaan) dan masyarakat bersangkutan.
Pada prinsipnya, aliran rekonstruksionisme memandang alam metafisika merujuk dualisme, aliran ini berpendirian bahwa alam nyata ini mengandung dua macam hakikat sebagai asal sumber yakni hakikat materi dan hakikat rohani. Kedua macam hakikat itu memiliki ciri yang bebas dan berdiri sendiri, sarna dengan azali dan abadi, dan hubungan keduanya menciptakan suatu kehidupan dalam alam. Descartes, seorang tokohnya pernah menyatakan bahwa umumnya manusia tidak sulit menerima atas prinsip dualisme ini, yang menunjukkan bahwa kenyataan lahir dapat segera ditangkap oleh panca indera manusia, sementara itu kenyataan bathin segera diakui dengan adanya akal dan petasaan hidup. Di balik gerak realita sesungguhnya terdapatlah kausalitas sebagai pendorongnya dan merupakan penyebab utama atas kausa prima. Kausa prima, dalam konteks ini, ialah Tuhan sebagai penggerak sesuatu tanpa gerak, Tuhan adalah aktualitas murni yang sama sekali sunyi dan subtansi.
Alam pikiran yang demikian bertolak hukum-hukum dalam filsafat itu sendiri tanpa bergantung padii ilmt pengetahuan. Namun demikian, meskipun filsafat dan ilmu berkembang ke arah yang lebih sempurna, tetap disetujui bahwa kedudukan filsafal lebih tinggi dibandingkan ilmu pendidikan. Yangmana pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif yang pada akhimya akan dapat memberikan warna dan corak dari output (keluaran) yang dihasilkan sehingga keluaran yang dihasilkan (anak didik).
F. Pandangan Tentang Aliran Rekonstrukionisme Secara Ontologi
Dengan ontologi, dapat diterangkan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana realita itu ada di mana dan sama di setiap tempat. Untuk mengerti suatu realita beranjak dari suatu yang konkrit dan menuju kearah yang khusus menam pakkan diri dalam perwujudan sebagaimana yang kita lihat dihadapan kita dan ditangkap oleh panca indra manusia seperti bewan dan tumbuhan atau benda lain disekeiling kita, dan realita yang kita ketahui dan kita badapi tidak terlepas dari suatu sistem, selain substansi yang dipunnyai dan tiap-tiap benda tersebut, dan dapat dipilih melalui akal pikiran. Kemudian, tiap realita sebagai substansi selalu cenderung bergerak dan berkembang dari potensialitas menuju aktualitas (teknologi). Dengan demikian gerakan tersebut mencakup tujuan dan terarah guna mencapai tujuan masing-masing dengan caranya sendiri dan diakui bahwa tiap realita memiliki perspektif tersendiri.
G. Pandangan Tentang Aliran Rekonstrukionisme Secara Teologi
Dalam proses interaksi sesama manusia, diperlukan nilai-nilai. Begitu juga halnya dalam hubungan manusia dengan sesamanya dan alam semesta tidak mungkin melakukan sikap netral, akan tetapi manusia sadar ataupun tidak sadar telah melakukan proses penilaian, yang merupakan kecenderungan man usia. Tetapi, secara umum ruang lingkup (scope) ten tang pengertian "nilai" tidak terbatas. Aliran rekonstruksionisme memandang masalah nilai berdasarkan azas-azas supernatural yakni menerima nilai natural yang universal, yang abadi berdasarkan prinsip nilai teologis. Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang berasaldari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya. Ke¬mudian, manusia sebagai subyek telah memiliki potensi-potensi kebaikan dan keburukan sesuai dengan kodratnya. Kebaikan itu akan tetap tinggi nilainya bila tidak dikuasai oleh hawa nafsu belaka, karena itu akal mempunyai peran untuk memberi penentuan.
Neo-Thomisme memandang bahwa etika, estetika dan politik sebagai cabang dari filsafat praktis, dalam pengertian tetap berhubungan dan berdasarkan pada prinsip-prinsip dari praktek-praktek dalam tindakan-tindakan moral, kreasi estetika dan organisasi politik. Karenanya, dalam arti teologis manusia perlu mencapai kebaikan tertinggi, yakni bersatu dengan Tuhan, kemudian berpikir rasional. Dalam kaitannya dengan estetika (keindahan), hakikat sesungguhnya ialah Tuhan sendiri. Keindahan yang maujud itu hanyalah keindahan khusus, pancaran unsur keindahan universal yang abadi.
Aristoteles memandang bahwa kebajikan dibedakan menjadi dua macam, yakni kebajikan intelektual dan kebajikan moral, kebajikan moral merupakan suatu kebajikan berdasarkan pembiasaan dan merupakan dasar dari kebijakan intelektual.
Dari gerakan intelektualitas pada abad pertengahan yang mencapai kristalisasi pada abad IX-XIV, memberikan argumentasi rasio tentang eksistensi Tuhan. Alselpus, seorang tokoh utama scholastik, menyatakan bahwa secara kritis realita semesta dapat dipahami dan tidak ada sesuatu di alam nyata ini diluar kekuasaan Tuhan karena semua itu sebagai perwujudan dari kesempurnaannya. Dalam perkembangan selanjutnya, penafsiran yang demikian didukung oleh Thomas Aquinas yang inti pembicaraannya untuk mengetahui realita yang ada yang hams berdasarkan iman dan perkembangan rasional hanya dapat dijawab dan mesti diikuti dengan iman.
H. Pandangan Tentang Aliran Rekonstrukionisme Secara Epistomologis
Kajian epsitemologis aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme (progressive) dan perenialisme. Berpijak dari pola pemikiran bahwa untuk memahami realita alam nyata memerlukan suatu azas tahu dalam arti bahwa tidak mungkin memahami realita ini tanpa melalui proses pengalaman dan hubungan dengan realita terlebih dahulu melalui penemuan suatu pintu gerbang ilmu pengetahuan. Karenanya, baik akal maupun rasio sama-sama berfungsi membentuk pengetahun, dan akal di bawa oleh panca indera menjadi pengetahuan dalam yang sesungguhnya.
Aliran ini juga berpendapat bahwa dasar dari suatu kebenaran dapat dibuktikan dengan self evidence, yakni bukti yang ada pada diri sendiri, realita dan eksistensinya. Pemahamannya bahwa pengetahuan yang benar buktinya ada di dalam pengetahuan ilmu itu sendiri. Sebagai ilustrasi, adanya Tuhan tidak perlu dibuktikan dengan bukti-bukti lain atas eksistensi Tuhan (self evidence). Kajian tentang kebenaran itu diperlukan suatu pemikiran, metode yang diperlukan guna menuntun agar sampai kepada pemikiran yang hakiki. Penalaran-penalaran memiliki hukum-hukum tersendiri agar dijadikan pegangan ke arah penemuan definisi atau pengertian yang logis. Ajaran yang dijadikan pedoman berasal dari Aristoteles yang membicarakan dua hal pokok, yakni pikiran (ratio) dan bukti (evidence) dengan jalan pernikirannya adalah silogisme. Silogisme menunjukkan hubungan logis antara premis mayor, premis minor dan kesimpulan (condusion), dengan memakai cara pengambilan kesimpulan deduktif dan induktif.
I. Teori Kontruktivisme
Teori rekonstruksionisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Rekonstruksionisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Pendekatan rekonstruksionisme mempunyai beberapa konsep umum seperti:
1. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar seharusnya membina sendiri pengetahuan mereka.
3. Pentingnya membina pengetahuan secara aktif oleh pelajar sendiri melalui proses saling mempengaruhi antara pembelajaran terdahulu dengan pembelajaran terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini ialah seseorang membina pengetahuan dirinya secara aktif dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya
yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama. Faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasan-gagasannya tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang disediakan perlu mempunyai keterkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat para pelajar.
Satu cara untuk mendapatkan intisari pandangan rekonstruksionisme adalah membahas dua bentuknya, yaitu konstruktivisme individu dan sosial.
• Rekonstruksionisme individual
Pandangan ini fokus pada kehidupan “inner psikologi” manusia, yakni mengartikan sesuatu dengan menggunakan pengetahuan dan keyakinannya secara individu. Pengetahuan disusun dengan mentransformasikan, mengorganisasi, dan mereorganisasikan pengetahuan yang sebelumnya. Pengetahuan bukan merupakan cermin dari luar, walaupun pengalaman mempengaruhi pemikiran, dan pemikiran mempengaruhi pengetahuan. Eksplorasi dan penemuan, jauh lebih penting dari pengajaran. Piaget menekankan pada hal-hal yang masuk akal dan konstruksi pengetahuan yang tidak bias secara langsung dipelajari dari lingkungan.17 Pengetahuan muncul dari merefleksikan dan menghubungkan kognisi atau pikiran-pikiran kita sendiri, bukan dari pemetaan realitas eksternal. Piaget melihat lingkungan sosial sebagai sebuah faktor penting dalam pengembangan kognisi, tapi dia tidak meyakini bahwa interaksi sosial merupakan mekanisme utama dalam mengubah pikiran.
• Rekonstruksionisme sosial
Vgotsky meyakini bahwa interaksi sosial, unsur-unsur budaya, dan aktivitasnya adalah yang membentuk pengembangan dan pembelajaran individu, atau dengan kata lain pengetahuan disusun berdasarkan interaksi sosial dalam konteks sosial budayanya.18 Pengetahuan merefleksikan dunia luar yang disaring dan dipengaruhi oleh budaya, bahasa, keyakinan, interaksi antar sesama, pengajaran klasikal, dan role modeling.
Penemuan yang terencana, pengajaran, model dan pelatihan, seperti juga pengetahuan, keyakinan dan pemikiran siswa, mempengaruhi pembelajaran.. Vygotsky juga dianggap sebagai rekonstruksionisme sosial, sekaligus individu. Yang pertama, disebabkan teorinya sangat bergantung kepada interaksi sosial dan konteks budaya dalam menjelaskan pembelajaran. Beberapa teoritikus mengkategorikannya sebagai konstruktivis individu, karena ketertarikannya dalam pengembangan individu.
J. Dimensi-Dimensi Pembelajaran Kontruktivisme
1. Lingkungan Belajar yang Kompleks dan Tugas-tugas Otentik
Siswa tidak boleh diberikan bagian-bagian yang terpisah, penyederhanaan masalah, dan pengulangan keterampilan dasar, tetapi sebaliknya, siswa dihadapkan pada lingkungan belajar yang kompleks, terlihat samar-samar, dan masalah yang tidak beraturan.
Masalah-masalah yang kompleks itu harus dihubungkan pada aktivitas dan tugas yang otentik, karena keberagaman situasi yang dihadapi siswa tersebut, seperti juga aplikasi yang mereka hadapi tentang dunia nyata.
2. Negosiasi Sosial
Tujuan utama pembelajaran adalah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam membangun serta mempertahankan posisi mereka, dan disaat bersamaan menghormati posisi orang lain dan bekerjasama untuk berdiskusi atau membangun pengertian bersama-sama. Guna menyelesaikan perpaduan ini, haruslah berbicara dan mendengarkan satu sama lain. Dengan kata lain, proses mental ini melalui negosiasi sosial dan interaksi, sehingga kolaborasi dalam pembelajaran dapat dimungkinkan, yakni melahirkan sebuah sikap intersubyektif – sebuah komitmen untuk membangun keragaman pengertian dan menemukan kesamaan umum serta perpaduan penafsiran.
2. Keragaman Pandangan dan Representasi Bahasan
Acuan-acuan untuk pembelajaran harus sudah dapat memfasilitasi representasi beragam bahasan dengan menggunakan analogi contoh dan metafora yang berbeda. Peninjauan materi yang sama, pada waktu yang berbeda-beda dalam penyusunan kembali konteks untuk tujuan yang berbeda, dan dari pandangan konseptual yang berbeda adalah penting untuk mencapai tujuan kemampuan pengetahuan yang lebih maju.
4. Proses Konstruksi Pengetahuan
Pendekatan konstruktivisme mengedepankan untuk membuat siswa peduli pada peran mereka dalam membangun pengetahuan. . Asumsinya adalah keyakinan dan pengalaman individu, membentuk apa yang dikenal sebagai dunia. Asumsi dan pengalaman berbeda, mengarahkan kepada pengetahuan yang berbeda pula. Apabila siswa peduli terhadap pengaruh-pengaruh yang membentuk pola pikir mereka, maka mereka akan lebih mampu untuk memilih, mengembangkan, dan memanfaatkan posisi dengan cara introspeksi diri, pada saat yang bersamaan menghormati posisi orang lain.
5. Pembelajaran Siswa Terhadap Kesadaran Dalam Belajar
Fokus dalam proses ini adalah menempatkan berbagai usaha siswa untuk memahami pembentukan pembelajaran dalam pendidikan. Kesadaran yang timbul pada diri siswa, bukan berarti guru melonggarkan tanggungjawabnya untuk memberikan pengarahan atau bimbingan.
K. Penerapan Pembelajaran Konstruktivisme
1. Discovery Learning
Dalam model ini, siswa didorong untuk belajar sendiri, belajar aktif melalui konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan guru sebagai motivatornya.
a. Pertama, guru mengidentifikasi kurikulum. Selanjutnya memandu pertanyaan, menyuguhkan teka-teki, dan menguraikan berbagai permasalahan.
b. Kedua, pertanyaan yang fokus harus dipilih untuk memandu siswa ke arah pemahaman yang bermakna. Siswa lalu memformulasikan jawaban sementara (hipotesis).
c. Ketiga, mengumpulkan data dari berbagai sumber yang relevan, dan menguji hipotesis.
d. Keempat, siswa membentuk konsep dan prinsip.
e. Kelima, guru memandu proses berfikir dan diskusi siswa, untuk mengambil keputusan.
f. Keenam, merefleksikan pada masalah nyata dan mengolah pemikiran guna menyelesaikan masalah.
Proses ini mengajarkan siswa untuk memahami isi dan proses dalam waktu yang bersamaan. Dengan kata lain, siswa belajar menyelesaikan masalah, mengevaluasi solusi, dan berfikir logis.
2. Pembelajaran Berbasis Masalah
Dalam model ini, siswa dihadapkan pada masalah nyata yang bermakna untuk mereka. Persoalan sesungguhnya dari pembelajaran berbasis masalah adalah menyangkut masalah nyata, aksi siswa, dan kolaborasi diantara mereka untuk menyelesaikan masalah.
a. Pertama, guru memotivasi diri siswa, dan mengarahkannya kepada permasalahan.
b. Kedua, guru membantu siswa dengan memberi petunjuk tentang literatur yang terkait masalah, dan mengorganisirnya untuk belajar dengan membuat kelompok kerja.
c. Ketiga, guru menyemangati siswa untuk mencari lebih banyak literatur, melakukan percobaan, membuat penjelasan untuk menemukan solusi. Setelah itu, secara mandiri, kelompok kerja siswa melakukan penyelidikkan.
d. Keempat, kelompok kerja siswa mempresentasikan hasil temuannya, baik itu berupa laporan, video, model, dan dibantu guru dalam mendiskusikannya.
e. Kelima, kelompok kerja siswa menganalisis, dan mengevaluasi proses penyelesaian masalah.
Pada bagian ini pula, guru membantu siswa dalam merefleksikannya. Pada model ini, guru dan siswa bersama-sama dalam proses, sesuai dengan porsinya. Mereka bersama-sama untuk mengkaji, membaca, menulis, meneliti, berbicara, guna menuju pada penyelesaian masalah selayaknya dalam kehidupan yang nyata. Tidak ada satupun teori tunggal konstruktivisme, begitu pula tidak ada satu-satunya model pembelajaran sebagai penerapan konstruktivisme. Walaupun demikian banyak dari kaum konstruktivis, merekomendasikan kepada pendidik bahwa:
1. Pembelajaran melekat dalam lingkungan belajar yang kompleks, realistis, dan relevan.
2. Menyediakan negosiasi sosial, dan tanggungjawab bersama sebagai bagian dari pembelajaran.
3. Mendukung pandangan beragam dan menggunakan representasi yang juga beragam terhadap isi yang dipelajari.
4. Meningkatkan kesadaran diri dan pengertian bahwa pengetahuan itu dibangun, dan
5. Mendorong kesadaran dalam pembelajaran.
BAB III
KESIMPULAN
1. Kata rekonstruksionisme berasal dari bahasa Inggris reconstruct, yang berarti menyusun kembali. Dalam filsafat pendidikan, rekonstruksionisme merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern
2. Masalah yang ada dalam aliran filsafat pendidikan rekonstruksionisme yaitu mengenai tujuan pendidikan yang berkenaan dengan sosial, ekonomi dan politik dalam suatu masyarakat global yang saling ketergantungan, kemudian masalah mengenai peranan guru, dimana guru harus menyadarkan si pendidik terhadap masalah-masalah yang dihadapi manusia
3. Rekonstruksionisme dipelopori oleh George count, Caroline Pratt dan Harold Rugg pada tahun 1930 yang ingin membangun masyarakat baru yang pantas dan adil
4. Brubacger (1950)mengelompokkan filsafat pendidikan pada dua kelompok besar, yaitu filsafat pendidikan “progresif” dan filsafat pendidikan “konservatif”
5. Dalam konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern
6. Pendidikan sebagai alat untuk memproses dan merekonstruksi kebudayaan baru haruslah dapat menciptakan situasi yang edukatif yang pada akhimya akan dapat memberikan warna dan corak dari output (keluaran) yang dihasilkan sehingga keluaran yang dihasilkan (anak didik).
7. Dengan ontologi, dapat diterangkan tentang bagaimana hakikat dari segala sesuatu. Aliran rekonstruksionisme memandang bahwa realita itu bersifat universal, yang mana realita itu ada di mana dan sama di setiap tempat
8. Hakikat manusia adalah emanasi (pancaran) yang potensial yang berasaldari dan dipimpin oleh Tuhan dan atas dasar inilah tinjauan tentang kebenaran dan keburukan dapat diketahuinya
9. Kajian epsitemologis aliran ini lebih merujuk pada pendapat aliran pragmatisme (progressive) dan perenialisme.
DAFTAR PUSTAKA
S. Praja, juhaya, dr, prof. Aliran-aliran Filsafat dan Etika. Jakarta: Prenada Media, 2003
Al-Malaky, dkk. Filsafat Untuk Semua. Jakarta: Lentera, 2001
M, A, Drs Usiono. Pengantar Filsafat Pendidikan. Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006
M.A, Syadali, H. Ahmad, Drs, dkk. Filsafat Umum. Bandung: Pustaka Setia, 1997
Tafsir, Ahmad, Dr. Filsafat Umum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1994
Aharianto 8. Blogspot.com
http://cgangeancity.blogspot.com/2008_06_rekonstruksionisme.html
http://elfiana-unindrabio2.blogspot.com/2008_06_rekonstruksionisme.html
http://setia-unindra.blogspot.com/2008_01_archive. html
http://wahyudisy.blogspot.com/2008_01_aliran-progresivisme-aliran.html
http://fadliyanur.blogspot.com/2008_05_aliran-rekonstruksionisme.html
http://wordpress.co/2007/04/24/6/AliranRekonstruksionisme
http://yaniuinbio2.blogspot.com/2008_05_01_archive.html
http://hhmsociety.multiply.com/
http://edu-articles.com/
http://e-pendidikan.net/
Footnote
1. http://fadliyanur.blogspot.com/2008_05_aliran-rekonstruksionisme.html
2. http://wordpress.co/2007/04/24/6/AliranRekonstruksionisme
3. http://wordpress.co/2007/04/24/6/AliranRekonstruksionisme
4. http://wordpress.co/2007/04/24/6/AliranRekonstruksionisme
5. http://wordpress.co/2007/04/24/6/AliranRekonstruksionisme
6. http://cgangeancity.blogspot.com/2008_06_rekonstruksionisme.html
7. http://cgangeancity.blogspot.com/2008_06_rekonstruksionisme.html
8. http://hhmsociety.multiply.com/
9. Filsafat umum, hal 17, H. Ahmad Syadali M.A
10. Filsafat umum, hal 10, dr. Ahmad Tafsir
11. http://yaniuinbio2.blogspot.com/2008_05_01_archive.html
12. : http //setia-unindra.blogspot.com/2008_01_archive. html
13. : http //setia-unindra.blogspot.com/2008_01_archive. html
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar