Jumat, 05 Maret 2010

sejarah peradaban islam

BAB I
PENDAHULUAN

Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H / 1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi'i. Adapun peninggalan tertua dari kaum Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082 M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol. Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil'alamin.



















BAB II
PEMBAHASAN

A. Rekonstruksi Masuknya Islam Ke Indonesia
Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia tenggara seperti rekonstruksi masuknya Islam ke Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia.
Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalah waktu masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau pembawa agamaIslam ke Nusantara.
a. Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:
 Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
 Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
 Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang menyebarkan ajaran Islam. Demikianlah penjelasan tentang teori Gujarat. Silahkan Anda simak teori berikutnya.
b. Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir).
Dasar teori ini adalah:
 Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga sesuai dengan berita Cina.
 Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i, dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah. Sedangkan Gujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
 Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri. Dari penjelasan di atas, apakah Anda sudah memahami? Kalau sudah paham simak teori berikutnya.
c. Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
 Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
 Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu Al – Hallaj.
 Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-tanda bunyi Harakat.
 Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
 Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai pada abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat (India).
1. Kondisi dan Sosial Politik Kerajaan-Kerajaan di Indonesia
Cikal bakal kekuasaan Islam telah dirintis pada periode abad 1-5 H/ 7-8 M, tetapi semuanya tenggelam dalam hegemoni maritime Sriwijaya yang berpusat di Palembang dan kerajaan Hindu-Jawa seperti Singasari dan Majapahit di Jawa Timur.
Pada periode ini para pedagang dan muballiq Islam membentuk komunitas-kumunitas Islam. Mereke memperkenalkan Islam yang mengajarkan toleransi dan persamaan derajat di antara sesama, sementara ajaran Hindu-Jawa menekankan perbedaan derajat manusia. Ajaran Islam ini sangat menarik pertiatian penduduk setempat. Karena itu, Islam tersebar di kepulauan Indonesia terhitung cepat, meski dengan damai.
2. Munculnya Pemukiman-Pemukiman Muslim di Pesisir Serta Peranan WaliSongo
Proses masuk dan berkembangnya Islam ke Indonesia pada dasarnya dilakukan dengan jalan damai melalui beberapa jalur/saluran yaitu melalui perdagangan seperti yang dilakukan oleh pedagang Arab, Persia dan Gujarat. Pedagang tersebut berinteraksi/bergaul dengan masyarakat Indonesia. Pada kesempatan tersebut dipergunakan untuk menyebarkan ajaran Islam. Selanjutnya diantara pedagang tersebut ada yang terus menetap, atau mendirikan perkampungan, seperti pedagang Gujarat mendirikan perkampungan Pekojan. Dengan adanya perkampungan pedagang, maka interaksi semakin sering bahkan ada yang sampai menikah dengan wanita Indonesia, sehingga proses penyebaran Islam semakin cepat berkembang. Perkembangan Islam yang cepat menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubaliqh yang menyebarkan Islam melalui pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren.
Pondok pesantren adalah tempat para pemuda dari berbagai daerah dan kalangan masyarakat menimba ilmu agama Islam. Setelah tammat dari pondok tersebut, maka para pemuda menjadi juru dakwah untuk menyebarkan Islam di daerahnya masingmasing. Di samping penyebaran Islam melalui saluran yang telah dijelaskan di atas, Islam juga disebarkan melalui kesenian, misalnya melalui pertunjukkan seni gamelan ataupun wayang kulit. Dengan demikian Islam semakin cepat berkembang dan mudah diterima oleh rakyat Indonesia.
Proses penyebaran Islam di Indonesia atau proses Islamisasi tidak terlepas dari peranan para pedagang, mubaliqh/ulama, raja, bangsawan atau para adipati. Di pulau Jawa, peranan mubaliqh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo atau wali sembilan yang terdiri dari:
 Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan Islam di Jawa Timur.
 Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah Ampel Surabaya.
 Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
 Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
 Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit Giri (Gresik)
 Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam di daerah Kudus.
 Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan ajaran Islam di daerah Demak.
 Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
 Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di Jawa Barat (Cirebon)
Demikian sembilan wali yang sangat terkenal di pulau Jawa, Masyarakat Jawa sebagian memandang para wali memiliki kesempurnaan hidup dan selalu dekat dengan Allah, sehingga dikenal dengan sebutan Waliullah yang artinya orang yang dikasihi Allah.
3. Saluran dan Cara-Cara Islamisasi di Indonesia
Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran islamisasi yang berkembang ada enam, yaitu:
a. Saluran Perdagangan
Pada taraf permulaan, saluran islamisasi adalah perdagangan.Kedatangan Islam didahului oleh interaksi antara masyarakat di wilayah kepulauan dengan pera pedagang Arab dan India. Di abad ke-5 sebelum masehi kepulauan Melayu telah menjadi tempat persinggahan para pedagang yang berlayar ki Cina atau sebaliknya. Dengan munculnya karajaan Thalasicratic Sriwijaya di abad ke-7 dan kemampuan kerajaan ini untuk menjamin keamanan pelayaran di selat Malaka membuat pelayaran dan jalur perdagangan internasional di wilayah ini kemudian menjadi lebih penting. Pada abad ke-9, keterlibatan para saudagar muslim dalam perdagangan kawasan ini membuktikan hal itu. Ada bukti yang menunjukkan adanya pemukiman kaum muslimin di kepulauan ini pada abad ke-11.
Namun tidak sampai munculnya kekuasaan kerajaan Malaka, bahwa islamisasi kepulauan mendapat dorongan baru. Malaka kemudian menguasai beberapa karajaan yang telah masuk Islam, seperti : Aru, Pedir dam Lambri. Daerah-daerah baru di Sumatera yang kemudian masuk ke dalam kekuasaan Malaka seperti kampar, Indra Giri, Siak, Jambi, Bengkalis, Riau dan Lingga juga telah masuk Islam. Di semenanjung Malaya, daerah seperti Pahang, Pattani, Kedah, Johor serta daerah lain yang mengakui kekuasaan kerajaan Malaka juga menerima Islam.
Saluran islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan, bahkan mereka menjadu pemilik kapal dan saham. Mengutip pendapat Tome Pires berkenaan dengan saluran islamisasi melalui perdagangan ini di pesisir Pulau Jawa, Uka Tjandresasmita menyebutkan bahwa para pedagang Muslim banyak yang bermukim di pesisir Pualu Jawa yang penduduknya ketika itru masih kafir. Mereka berhasil mendirikan mesjid-mesjid dan mendatngkan mullah-mullah dari luar sehingga jumlah mereka menjadi banyak, dan karena anak-anak Muslim itu menjadi orang Jawa dan kaya-kaya. Di beberapa tempat, penguasa-penguasa Jawa, yang menjabat sebagai bupati-bupati Majapahit yang ditempatkan di pesisir utara Jawa banyak yang masuk Islam, bukan hanya karena faktor politik dalam negeri yang sedang goyah, tetapi terutama karena faktor hubungan ekonomi dengan pedagang-pedagang Muslim. Dalam perkembangan selanjutnya, mereka kemudian mengambil alih perdagangan dan kekuasaan di tempat- tempat tinggalnya.
b. Saluran Pernikahan
Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki status social yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi, sehingga penduduk pribumi, terutama Putri-putri bangsawan, tertari untuk menjadi iatri saudagar-saudagar itu. Sebelum kawin, mereka diislamkan terlebih dahulu. Setelah mereka memiliki keturunan, lingkungan mereka semakin luas. Akhirnya, timbul kampung-kampung, daerah-daerah, dan kerajaan-kerajaan Muslim. Dalam perkembangan berikutnya, ada pula wanita muslim yang dikawini oleh keturunan bangsawan, tentu daja setelah yang terakhir ini masuk islam lebih dahulu. Jalur perkawinan ini lebih menguntungkan apabila terjadi antara saudagar muslim dengan anak bangsawan atau anak raja dan anak adipati, karena raja, adipati atau bangsawan itu kemudian turut mempercepat proses islamisasi. Demikianlah yang terjadi antara Raden Rahmat dengan Nyai Manila, dan lain-lain.
c. Saluran Pendidikan (pesantren)
Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang asli dari akar budaya indonesia, dan juga adopsi dan adaptasi hasanah kebudayaan pra Islam yang tidak keluar dari nilai-nilai Islam yang dapat dimanfaatkan dalam penyebaran Islam. Ini membuktikan Islam sangat menghargai budaya setempat selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
d. Saluran Seni dan budaya
Saat itu media tontonan yang sangat terkenal pada masyarakat jawa kkhususnya yaitu wayang. Wali Songo menggunakan wayang sebagai media dakwah dengan sebelumnya mewarnai wayang tersebut dengan nilai-nilai Islam. Yang menjadi ciri pengaruh Islam dalam pewayangan diajarkannya egaliterialisme yaitu kesamaan derajat manusia di hadapan Allah dengan dimasukannya tokoh-tokoh punakawam seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.
Para Wali juga menggubah lagu-lagu tradisional (daerah) dalam langgam Islami, ini berarti nasyid sudah ada di Indonesia ini sejak jaman para wali. Dalam upacara-upacara adat juga diberikan nilai-nilai Islam.
e. Saluran Tasawwuf
Kenyatan sejarah bahwa ada tarikat-tarikat di Indonesia yang menjadi jaringan penyebaran agama Islam. Bukti yang jelas mengenai kecenderungan mistis dalam Islam di Indonesia telah memberi kesan bahwa kaum Sufilah yang menjadi alat utama dalam islamisasi. A.H. Johns adalah pendukung utama argument ini, dam dia menjelaskan bahwa pengislamaan di Indonesia bersamaan waktunya dengan kurun waktu katika paham Sufi mulai mendominasi dunia Islam, yaitu setelah jatuhnya Bagdad ke tangan bangsa Mongol pada tahun 1258.
Dia mempunyai pandangan bahwa kaum Sufi yang berasal dari berbagai kebangsaan itu sedang mengadakan perjalanan ke Indonesia dengan menggunakan kapal-kapal dagang dan disana berhasil menyebarkan tafsir mereka yang lebih bersifat pilih-pilih dan tidak begitu jelas terhadap hukum Islam. Meskipun sangat masuk akal, namun pandangan ini tidak mempunyai bukti karena tidak terdapat satu catatan pun mengenai persaudaraan Sufi yang terorganisasi di Indonesia pada periode awal itu.
f. Saluran Politik
Di Maluku dan Sulawesi Selatan, kebanyakan rakyat masuk Islam setelah rajanya memeluk Islam terlebih dahulu. Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya islam di daerah ini, baik di Sumatera dan Jawa maupun di Indonesia bagian timur, demi kepentingan politik, kerajaan-kerajaan Islam memerangi kerajaan-kerajaan non-Islam. Kemenangan kerajaan Islam secara politis banyak menarik penduduk kerajaan bukan Islam itu masuk Islam.

B. Kedatangan Orang-Orang Eropa ke Indonesia
Kedatangan orang-orang Eropa yang pertama di Asia Tenggara pada awal abad XVI kadang-kadang dipandang sebagai titik penentu yang paling penting dalam sejarah kawasan ini. Pandangan ini tidak dapat dipertahankan. Meskipun orang-orang Eropa terutama orang-orang Belanda memiliki dampak yang besar tergadap Indonesia, namun hak itu pada dasarnya merupakan suatu gejala dari masa-masa yang belakangan. Bagaimanapun juga, pengaruh orang-orang Eropa pada tahun-tahun pertama kehadiran mereka sangatlah trebatas daerah dan kedalamannya.
Eropa bukanlah kawasan yang paling maju di dunia pada awal abad XV, dan juga bukan merupakan kawasan yang paling dinamis. Orang-orang Eropa, terutama orang-orang Portugis, mencapai kemajuan-kemajuan di bidang teknologi tertentu yang akan melibatkan bangsa Portugis dalam salah satu pertualangan mengarungi samudra yang paling berani di sepanjang zaman.
Bangsa Portugis tidak hanya mencapai kemajuan-kemajuan di bidang teknologi yang memungkinkan mereka melebarkan sayap ke seberang lautan, mereka juga memiliki kemauan dan kepentingan untuk melakukan itu. Atas dorongan pangeran Henry “Si Mu’lim” dan para pelindung lainnya, para pelaut dan petualang Portugis memulai usaha pencarian emas, kemenangan dalam peperangan, dan suatu jalan untuk mengepung lawan yang beragama islam dengan mnyusuri pantai barat afrika. Mereka juga berusaha mendapatkan rempah-rempah, yang dalam hal ini berarti mendapatkan jalan ke Asia dengan tujuan memotong jalur pelayaran para pedagang Islam, yang memulai tempat penjualan mereka di Venesia di Laut Tengah memonopoli impor rempah-rempah ke Eropa. Rempah-rempah merupakan soal kebutuhan dan juga cita rasa. Selama musim dingin di Eropa tidak ada satu cara pun yang dapat dijalankan untuk mempertahankan agar semua hewan-hewan ternak dapat tetap hidup, oleh karenanya, banyak hewan ternak yang disembelih dan dagingnya kemudian harus diawetkan. Untuk itu, diperlukan sekali adanya garam dan rempah-rempah.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah. Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan Makkah dari serbuan Turki Utsmani.




C. Kerajaan-Kerajaan Islam Sebelum Penjajahan Belanda
1. Kerajaan Samudra Pasai
Kerajaan Samudra Pasai tercatat dalam sejarah sebagai kerajaan Islam yang pertama. Mengenai awal dan tahun berdirinya kerajaan ini tidak diketahui secara pasti. Akan tetapi menurut pendapat Prof. A. Hasymy, berdasarkan naskah tua yang berjudul Izhharul Haq yang ditulis oleh Al-Tashi dikatakan bahwa sebelum Samudra Pasai berkembang, sudah ada pusat pemerintahan Islam di Peureula (Perlak) pada pertengahan abad ke-9.
Perlak berkembang sebagai pusat perdagangan, tetapi setelah keamanannya tidak stabil maka banyak pedagang yang mengalihkan kegiatannya ke tempat lain yakni ke Pasai, akhirnya Perlak mengalami kemunduran. Dengan kemunduran Perlak, maka tampillah seorang penguasa lokal yang bernama Marah Silu dari Samudra yang berhasil mempersatukan daerah Samudra dan Pasai. Dan kedua daerah tersebut dijadikan sebuah kerajaan dengan nama Samudra Pasai.
Munculnya kerajaan Samudra Pasai abad ke-13 M itu sejalan suramnya peranan maritime kerajaan Sriwijaya, yang sebelumnya memegang peranan penting di kawasan Sumatera dan sekelilingnya. Kerajaan Samudra Pasai yang didirikan oleh Marah Silu bergelar Sultan Malik al- Saleh, sebagai raja pertama yang memerintah tahun 1285 – 1297. Pada masa pemerintahannya, datang seorang musafir dari Venetia (Italia) tahun 1292 yang bernama Marcopolo, melalui catatan perjalanan Marcopololah maka dapat diketahui bahwa raja Samudra Pasai bergelar Sultan. Setelah Sultan Malik al-Saleh wafat, maka pemerintahannya digantikan oleh keturunannya yaitu Sultan Muhammad yang bergelar Sultan Malik al-Tahir I (1297 – 1326).
Pengganti dari Sultan Muhammad adalah Sultan Ahmad yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir II (1326 – 1348). Pada masa ini pemerintahan Samudra Pasai berkembang pesat dan terus menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan Islam di India maupun Arab. Bahkan melalui catatan kunjungan Ibnu Batulah seorang utusan dari Sultan Delhi tahun 1345 dapat diketahui Samudra Pasai merupakan pelabuhan yang penting dan istananya disusun dan diatur secara India dan patihnya bergelar Amir.
Pada masa selanjutnya pemerintahan Samudra Pasai tidak banyak diketahui karena pemerintahan Sultan Zaenal Abidin yang juga bergelar Sultan Malik al-Tahir III kurang begitu jelas. Menurut sejarah Melayu, kerajaan Samudra Pasai diserang oleh kerajaan Siam
Dengan letaknya yang strategis, maka Samudra Pasai berkembang sebagai kerajaan Maritim, dan bandar transito. Dengan demikian Samudra Pasai menggantikan peranan Sriwijaya di Selat Malaka. Kerajaan Samudra Pasai memiliki hegemoni (pengaruh) atas pelabuhan-pelabuhan penting di Pidie, Perlak, dan lain-lain.
Kemajuan dalam bidang ekonomi membawa dampak pada kehidupan sosial, masyarakat Samudra Pasai menjadi makmur. Dan di samping itu juga kehidupan masyarakatnya diwarnai dengan semangat kebersamaan dan hidup saling menghormati sesuai dengan syariat Islam. Hubungan antara Sultan dengan rakyat terjalin baik. Sultan biasa melakukan musyawarah dan bertukar pikiran dengan para ulama, dan Sultan juga sangat hormat pada para tamu yang datang, bahkan tidak jarang memberikan tanda mata kepada para tamu. Samudra Pasai mengembangkan sikap keterbukaan dan kebersamaan. Salah satu bukti dari hasil peninggalan budayanya, berupa batu nisan Sultan Malik al-Saleh dan jirat Putri Pasai.
2. Kerajaan Demak
Demak pada masa sebelumnya sebagai suatu daerah yang dikenal dengan nama Bintoro atau Gelagahwangi yang merupakan daerah kadipaten di bawah kekuasaan Majapahit. Kadipaten Demak tersebut dikuasai oleh Raden Patah salah seorang keturunan Raja Brawijaya V (Bhre Kertabumi) yaitu raja Majapahit.
Dengan berkembangnya Islam di Demak, maka Demak dapat berkembang sebagai kota dagang dan pusat penyebaran Islam di pulau Jawa. Hal ini dijadikan kesempatan bagi Demak untuk melepaskan diri dengan melakukan penyerangan terhadap Majapahit. Setelah Majapahit hancur maka Demak berdiri sebagai kerajaan Islam pertama di pulau Jawa dengan rajanya yaitu Raden Patah. Kerajaan Demak secara geografis terletak di Jawa Tengah dengan pusat pemerintahannya di daerah Bintoro di muara sungai Demak, yang dikelilingi oleh daerah rawa yang luas di perairan Laut Muria. (sekarang Laut Muria sudah merupakan dataran rendah yang dialiri sungai Lusi).
Bintoro sebagai pusat kerajaan Demak terletak antara Bergola dan Jepara, dimana Bergola adalah pelabuhan yang penting pada masa berlangsungnya kerajaan Mataram (Wangsa Syailendra), sedangkan Jepara akhirnya berkembang sebagai pelabuhan yang penting bagi kerajaan Demak.
Lokasi kerajaan Demak yang strategis untuk perdagangan nasional, karena menghubungkan perdagangan antara Indonesia bagian Barat dengan Indonesia bagian Timur, serta keadaan Majapahit yang sudah hancur, maka Demak berkembang sebagai kerajaan besar di pulau Jawa, dengan rajanya yang pertama yaitu Raden Patah. Ia bergelar Sultan Alam Akbar al-Fatah (1500 – 1518).
Pada masa pemerintahannya Demak memiliki peranan yang penting dalam rangka penyebaran agama Islam khususnya di pulau Jawa, karena Demak berhasil menggantikan peranan Malaka, setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis 1511.
Kehadiran Portugis di Malaka merupakan ancaman bagi Demak di pulau Jawa. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka pada tahun 1513 Demak melakukan penyerangan terhadap Portugis di Malaka, yang dipimpin oleh Adipati Unus atau terkenal dengan sebutan Pangeran Sabrang Lor, tetapi penyerangan tersebut mengalami kekalahan besar dipihak demak.
Serangan Demak terhadap Portugis walaupun mengalami kegagalan namun Demak tetap berusaha membendung masuknya Portugis ke pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Adipati Unus (1518 – 1521), Demak melakukan blokade pengiriman beras ke Malaka sehingga Portugis kekurangan makanan.
Puncak kebesaran Demak terjadi pada masa pemerintahan Sultan Trenggono (1521 – 1546), karena pada masa pemerintahannya Demak memiliki daerah kekuasaan yang luas dari Jawa Barat sampai Jawa Timur.
Sultan Trenggono melakukan penyerangan terhadap daerah-daerah kerajaan-kerajaan Hindu yang mengadakan hubungan dengan Portugis seperti Sunda Kelapa (Pajajaran)dan Blambangan. Penyerangan terhadap Sunda Kelapa yang dikuasai oleh Pajajaran disebabkan karena adanya perjanjian antara raja Pakuan penguasa Pajajaran dengan Portugis yang diperkuat dengan pembuatan tugu peringatan yang disebut Padrao. Isi dari Padrao tersebut adalah Portugis diperbolehkan mendirikan Benteng di Sunda Kelapa dan Portugis juga akan mendapatkan rempah-rempah dari Pajajaran.
Sebelum Benteng tersebut dibangun oleh Portugis, tahun 1526 Demak mengirimkan pasukannya menyerang Sunda Kelapa, di bawah pimpinan Fatahillah. Dengan penyerangan tersebut maka tentara Portugis dapat dipukul mundur di Teluk Jakarta. Kemenangan Fatahillah merebut Sunda Kelapa tepat tanggal 22 Juni 1527 diperingati dengan pergantian nama menjadi Jayakarta yang berarti Kemenangan Abadi. Sedangkan penyerangan terhadap Blambangan dilakukan pada tahun 1546, di mana pasukan Demak di bawah pimpinan Sultan Trenggono yang dibantu oleh Fatahillah, tetapi sebelum Blambangan berhasil direbut Sultan Trenggono meninggal di Pasuruan. Dengan meninggalnya Sultan Trenggono, maka terjadilah perebutan kekuasaan antara Pangeran Sekar Sedolepen (saudara Trenggono) dengan Sunan Prawoto (putra Trenggono) dan Arya Penangsang (putra Sekar Sedolepen). Perang saudara tersebut diakhiri oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yang dibantu oleh Ki Ageng Pemanahan, sehingga pada tahun 1568 Pangeran Hadiwijaya memindahkan pusat pemerintahan Demak ke Pajang. Dengan demikian berakhirlah kekuasaan Demak dan hal ini juga berarti bergesernya pusat pemerintahan dari pesisir ke pedalaman.
Seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi sebelumnya, bahwa letak Demak sangat strategis di jalur perdagangan nasional memungkinkan Demak berkembang sebagai kerajaan maritim. Dalam kegiatan perdagangan, Demak berperan sebagai penghubung antara daerah penghasil rempah di Indonesia bagian Timur dan penghasil rempah-rempah Indonesia bagian barat. Dengan demikian perdagangan Demak semakin berkembang. Dan hal ini juga didukung oleh penguasaan Demak terhadap pelabuhan-pelabuhan di daerah pesisir pantai pulau Jawa.
Sebagai kerajaan Islam yang memiliki wilayah di pedalaman, maka Demak juga memperhatikan masalah pertanian, sehingga beras merupakan salah satu hasil pertanian yang menjadi komoditi dagang. Dengan demikian kegiatan perdagangannya ditunjang oleh hasil pertanian, mengakibatkan Demak memperoleh keuntungan di bidang ekonomi.
3. Kerajaan Banten
Seperti yang telah dijelaskan pada uraian materi tentang kerajaan Demak, bahwa daerah ujung barat pulau Jawa yaitu Banten dan Sunda Kelapa dapat direbut oleh Demak, di bawah pimpinan Fatahillah. Untuk itu daerah tersebut berada di bawah kekuasaan Demak.
Setelah Banten diislamkan oleh Fatahillah maka daerah Banten diserahkan kepada putranya yang bernama Hasannudin, sedangkan Fatahillah sendiri menetap di Cirebon, dan lebih menekuni hal keagamaan. Dengan diberikannya Banten kepada Hasannudin, maka Hasannudin meletakkan dasar-dasar pemerintahan kerajaan Banten dan mengangkat dirinya sebagai raja pertama, memerintah tahun 1552 – 1570.
Lokasi kerajaan Banten terletak di wilayah Banten sekarang, yaitu di tepi Timur Selat Sunda sehingga daerahnya strategis dan sangat ramai untuk perdagangan nasional. Pada masa pemerintahan Hasannudin, Banten dapat melepaskan diri dari kerajaan Demak, sehingga Banten dapat berkembang cukup pesat dalam berbagai bidang kehidupan.
Berkembangnya kerajaan Banten tidak terlepas dari peranan raja-raja yang memerintah di kerajaan tersebut. Untuk memantapkan pemahaman Anda tentang raja-raja yang memerintah di Banten, simaklah silsilah raja-raja Banten berikut ini.



Silsilah Raja-raja Banten

Dalam perkembangan politiknya, selain Banten berusaha melepaskan diri dari kekuasaan Demak, Banten juga berusaha memperluas daerah keuasaannya di Jawa Barat yaitu dengan menduduki Pajajaran tahun 1519. Dengan dikuasainya Pajajaran, maka seluruh daerah Jawa Barat berada di bawah kekuasaan Banten.
Hal ini terjadi pada masa pemerintahan raja Panembahan Yusuf. Pada masa pemerintahan Maulana Muhammad, perluasan wilayah Banten diteruskan ke Sumatera yaitu berusaha menguasai daerah-daerah yang banyak menghasilkan lada seperti Lampung, Bengkulu dan Palembang. Lampung dan Bengkulu dapat dikuasai Banten tetapi Palembang mengalami kegagalan, bahkan Maulana Muhammad meninggal ketika melakukan serangan ke Palembang.
Dengan dikuasainya pelabuhan-pelabuhan penting di Jawa Barat dan beberapa daerah di Sumatera, maka kerajaan Banten semakin ramai untuk perdagangan, bahkan berkembang sebagai kerajaan maritim. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
Pemerintahan Sultan Ageng, Banten mencapai puncak keemasannya karena sebagai kerajaan maritim, Banten menjadi pusat perdagangan yang didatangi oleh berbagai bangsa seperti Arab, Cina, India, Portugis dan bahkan Belanda. Belanda pada awalnya datang ke Indonesia, mendarat di Banten tahun 1596 tetapi karena kesombongannya, maka para pedagang-pedagang Belanda tersebut dapat diusir dari Banten dan menetap di Jayakarta.
Di Jayakarta, Belanda mendirikan kongsi dagang tahun 1602, yang bernama VOC. Dan ia juga mendirikan benteng di Jayakarta VOC akhirnya menetap dan mengubah nama Jayakarta menjadi Batavia tahun 1619, sehingga kedudukan VOC di Batavia semakin kuat.
Adanya kekuasaan Belanda di Batavia, menjadi saingan bagi Banten dalam perdagangan. Persaingan tersebut kemudian berubah menjadi pertentangan politik, sehingga Sultan Ageng Tirtayasa sangat anti kepada VOC. Sehingga pada masanya terjadi beberapa kali peperangan antara banten dan VOC yang berakhir dengan disetujuinya perjanjian perdamaian tahun 1659 M, peperangan itu berupa tindakan-tindakan seperti perang gerilya dan perampokan terhadap Belanda di Batavia. Akibat tindakan tersebut, maka Belanda menjadi kewalahan menghadapi Banten.
Untuk menghadapi tindakan Sultan Ageng Tirtayasa tersebut, maka Belanda melakukan politik adu-domba (Devide et Impera) antara Sultan Ageng dengan putranya yaitu Sultan Haji. Akibat dari politik adu-domba tersebut, maka terjadi perang saudara di Banten, sehingga Belanda dapat ikut campur dalam perang saudara tersebut. Belanda memihak Sultan Haji, yang akhirnya perang saudara tersebut dimenangkan oleh Sultan Haji.
Dengan kemenangan Sultan Haji, maka Sultan Ageng Tirtayasa ditawan dan dipenjarakan di Batavia sampai meninggalnya tahun 1692. Dampak dari bantuan VOC terhadap Sultan Haji maka Banten harus membayar mahal, di mana Sultan Haji harus menandatangani perjanjian dengan VOC tahun 1684.
Perjanjian tersebut sangat memberatkan dan merugikan kerajaan Banten, sehingga Banten kehilangan atas kendali perdagangan bebasnya, karena Belanda sudah memonopoli perdagangan di Banten. Akibat terberatnya adalah kehancuran dari kerajaan Banten itu sendiri karena VOC/Belanda mengatur dan mengendalikan kekuasaan raja Banten. Raja-raja Banten sejak saat itu berfungsi sebagai boneka.
Kerajaan Banten yang letaknya di ujung barat Pulau Jawa dan di tepi Selat Sunda merupakan daerah yang strategis karena merupakan jalur lalu-lintas pelayaran dan perdagangan khususnya setelah Malaka jatuh tahun 1511, menjadikan Banten sebagai pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh para pedagang dari berbagai bangsa. Pelabuhan Banten juga cukup aman, sebab terletak di sebuah teluk yang terlindungi oleh Pulau Panjang, dan di samping itu Banten juga merupakan daerah penghasil bahan ekspor seperti lada.
Selain perdagangan kerajaan Banten juga meningkatkan kegiatan pertanian, dengan memperluas areal sawah dan ladang serta membangun bendungan dan irigasi. Kemudian membangun terusan untuk memperlancar arus pengiriman barang dari pedalaman ke pelabuhan. Dengan demikian kehidupan ekonomi kerajaan Banten terus berkembang baik yang berada di pesisir maupun di pedalaman.
4. Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram adalah daerah kadipaten yang dikuasai oleh Ki Gede Pamanahan. Daerah tersebut diberikan oleh Pangeran Hadiwijaya (Jaka Tingkir) yaitu raja Pajang kepada Ki Gede Pamanahan atas jasanya membantu mengatasi perang saudara di Demak yang menjadi latar belakang munculnya kerajaan Pajang. Ki Gede Pamanahan memiliki putra bernama Sutawijaya atau bernama Senapati yang juga mengabdi kepada raja Pajang sebagai komando pasukan pengawal raja. Setelah Ki Gede Pamanahan meninggal tahun 1575, maka Sutawijaya menggantikannya sebagai adipati di Kota Gede tersebut.
Setelah pemerintahan Hadiwijaya di Pajang berakhir, maka kembali terjadi perang saudara antara Pangeran Benowo putra Hadiwijaya dengan Arya Pangiri, Bupati Demak yang merupakan keturunan dari Raden Trenggono. Akibat dari perang saudara tersebut, maka banyak daerah yang dikuasai Pajang melepaskan diri, sehingga hal inilah yang mendorong Pangeran Benowo meminta bantuan kepada Sutawijaya.
Atas bantuan Sutawijaya tersebut, maka perang saudara dapat diatasi dan karena ketidakmampuannya maka secara sukarela Pangeran Benowo menyerahkan takhtanya kepada Sutawijaya. Meskipun Sutawijaya secara menolak dan hanya meminta pusaka kerajaan, diantaranya, Gong Kiai Skar Dlima, Kendali Kiai Macan Guguh, dan Pelana Kiai Jetayu, namun dalam tradisi jawa, penyerahan benda-benda pusaka itu sama artinya dengan penyerahan kekuasaan. Dengan demikian berakhirlah kerajaan Pajang dan sebagai kelanjutannya muncullah kerajaan Mataram. Lokasi kerajaan Mataram tersebut di Jawa Tengah bagian Selatan dengan pusatnya di kota Gede yaitu di sekitar kota Yogyakarta sekarang.
Pendiri kerajaan Mataram adalah Sutawijaya. Ia bergelar Panembahan Senopati, memerintah tahun (1586 – 1601). Pada awal pemerintahannya ia berusaha menundukkan daerah-daerah seperti Ponorogo, Madiun, Pasuruan, dan Cirebon serta Galuh. Sebelum usahanya untuk memperluas dan memperkuat kerajaan Mataram, Sutawijaya digantikan oleh putranya yaitu Mas Jolang yang bergelar Sultan Anyakrawati tahun 1601 – 1613.
Sebagai raja Mataram ia juga berusaha meneruskan apa yang telah dilakukan oleh Panembahan Senopati untuk memperoleh kekuasaan Mataram dengan menundukkan daerah-daerah yang melepaskan diri dari Mataram. Akan tetapi sebelum usahanya selesai, Mas Jolang meninggal tahun 1613 dan dikenal dengan sebutan Panembahan Sedo Krapyak.
Untuk selanjutnya yang menjadi raja Mataram adalah Mas Rangsang yang bergelar Sultan Agung Senopati ing alogo Ngabdurrahman, yang memerintah tahun 1613 – 1645. Sultan Agung merupakan raja terbesar. Pada masa pemerintahannya Mataram mencapai puncaknya, karena ia seorang raja yang gagah berani, cakap dan bijaksana. Pada masa pemerintahannya, kota kerajaan Mataram mula-mula di Kerta, kemudian dipindahkan ke Plered. Sebagai raja Mataram ia bercita-cita mempersatukan seluruh pulau Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Pada tahun 1625 hampir seluruh pulau Jawa dikuasainya kecuali Batavia dan Banten.
Bahwa daerah-daerah tersebut dipersatukan oleh Mataram antara lain melalui ikatan perkawinan antara adipati-adipati dengan putri-putri Mataram, bahkan Sultan Agung sendiri menikah dengan putri Cirebon sehingga daerah Cirebon juga mengakui kekuasaan Mataram.
Di samping mempersatukan berbagai daerah di pulau Jawa, Sultan Agung juga berusaha mengusir VOC Belanda dari Batavia. Untuk itu Sultan Agung melakukan penyerangan terhadap VOC ke Batavia pada tahun 1628 dan 1629 akan tetapi serangan tersebut mengalami kegagalan.
Penyebab kegagalan serangan terhadap VOC antara lain karena jarak tempuh dari pusat Mataram ke Batavia terlalu jauh kira-kira membutuhkan waktu 1 bulan untuk berjalan kaki, sehingga bantuan tentara sulit diharapkan dalam waktu singkat. Dan daerah-daerah yang dipersiapkan untuk mendukung pasukan sebagai lumbung padi yaitu Kerawang dan Bekasi dibakar oleh VOC, sebagai akibatnya pasukan Mataram kekurangan bahan makanan.
Dampak pembakaran lumbung padi maka tersebar wabah penyakit yang menjangkiti pasukan Mataram, sedangkan pengobatan belum sempurna. Hal inilah yang banyak menimbulkan korban dari pasukan Mataram. Di samping itu juga sistem persenjataan Belanda lebih unggul dibanding pasukan Mataram.
Setelah wafatnya Sultan Agung tahun 1645, Mataram tidak memiliki raja-raja yang cakap dan berani seperti Sultan Agung, bahkan putranya sendiri yaitu Amangkurat I dan cucunya Amangkurat II merupakan raja-raja yang lemah. Kelemahan raja-raja Mataram setelah Sultan Agung dimanfaatkan oleh penguasa daerah untuk melepaskan diri dari kekuasaan Mataram juga VOC. Akhirnya VOC berhasil juga menembus ke ibukota dengan cara mengadu-domba sehingga kerajaan Mataram berhasil dikendalikan VOC.
Bukti berhasilnya VOC dengan politik devide et impera, kerajaan Mataram terbelah dua melalui perjanjian Gianti tahun 1755. Sehingga Mataram yang luas hampir meliputi seluruh pulau Jawa akhirnya terpecah belah menjadi 2 wilayah kerajaan yaitu:
a) Kesultanan Yogyakarta, dengan Mangkubumi sebagai raja yang bergelar Sulta
b) Hamengkubuwono I.
c) Kasunanan Surakarta yang diperintah oleh Sunan Paku Buwono III.
Belanda ternyata belum puas memecah belah kerajaan Mataram. Akhirnya melalui politik adu-domba kembali tahun 1757 diadakan perjanjian Salatiga. Mataram terbagi 4 wilayah yaitu sebagian Surakarta diberikan kepada Mangkunegaran selaku Adipati tahun 1757, kemudian sebagian Yogyakarta juga diberikan kepada Paku Alam selaku Adipati tahun 1813.
Letak kerajaan Mataram di pedalaman, maka Mataram berkembang sebagai kerajaan agraris yang menekankan dan mengandalkan bidang pertanian. Sekalipun demikian kegiatan perdagangan tetap diusahakan dan dipertahankan, karena Mataram juga menguasai daerah-daerah pesisir yang mata pencahariannya pelayaran dan perdagangan.
Dalam bidang pertanian, Mataram mengembangkan daerah persawahan yang luas terutama di Jawa Tengah, yang daerahnya juga subur dengan hasil utamanya adalah beras, di samping kayu, gula, kapas, kelapa dan palawija. Sedangkan dalam bidang perdagangan, beras merupakan komoditi utama, bahkan menjadi barang ekspor karena pada abad 17 Mataram menjadi pengekspor beras paling besar pada saat itu. Dengan demikian kehidupan ekonomi Mataram berkembang pesat karena didukung oleh hasil bumi Mataram yang besar.
5. Kerajaan Gowa - Tallo
Di Sulawesi Selatan pada abad 16 terdapat beberapa kerajaan di antaranya Gowa, Tallo, Bone, Sopeng, Wajo dan Sidenreng.
Masing-masing kerajaan tersebut membentuk persekutuan sesuai dengan pilihan masingmasing. Salah satunya adalah kerajaan Gowa dan Tallo membentuk persekutuan pada tahun 1528, sehingga melahirkan suatu kerajaan yang lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Makasar. Nama Makasar sebenarnya adalah ibukota dari kerajaan Gowa dan sekarang masih digunakan sebagai nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan.
Secara geografis daerah Sulawesi Selatan memiliki posisi yang sangat strategis, karena berada di jalur pelayaran (perdagangan Nusantara). Bahkan daerah Makasar menjadi pusat persinggahan para pedagang baik yang berasal dari Indonesia Timur maupun yang berasal dari Indonesia Barat.
Penyebaran Islam di Sulawesi Selatan dilakukan oleh Datuk Rebandang dari Sumatera, sehingga pada abad 17 agama Islam berkembang pesat di Sulawesi Selatan, bahkan raja Makasar pun memeluk agama Islam. Raja Makasar yang pertama memeluk agama Islam adalah Karaeng Matoaya (Raja Gowa) yang bergelar Sultan Alaudin yang memerintah Makasar tahun 1593 – 1639 dan dibantu oleh Daeng Manrabia (Raja Tallo) sebagai Mangkubumi bergelar Sultan Abdullah.
Sejak pemerintahan Sultan Alaudin kerajaan Makasar berkembang sebagai kerajaan maritim dan berkembang pesat pada masa pemerintahan raja Malekul Said (1639 – 1653). Selanjutnya kerajaan Makasar mencapai puncak kebesarannya pada masa pemerintahan Sultan Hasannudin (1653 – 1669). Pada masa pemerintahannya Makasar berhasil memperluas wilayah kekuasaannya yaitu dengan menguasai daerah-daerah yang subur serta daerah-daerah yang dapat menunjang keperluan perdagangan Makasar. Perluasan daerah Makasar tersebut sampai ke Nusa Tenggara Barat.
Dengan adanya daerah kekuasaan Makasar yang luas tersebut, maka seluruh jalur perdagangan di Indonesia Timur dapat dikuasainya. Sultan Hasannudin terkenal sebagai raja yang sangat anti kepada dominasi asing. Oleh karena itu ia menentang kehadiran dan monopoli yang dipaksakan oleh VOC yang telah berkuasa di Ambon. Untuk itu hubungan antara Batavia (pusat kekuasaan VOC di Hindia Timur) dan Ambon terhalangi oleh adanya kerajaan Makasar.
Dengan kondisi tersebut maka timbul pertentangan antara Sultan Hasannudin dengan VOC, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan. Peperangan tersebut terjadi di daerah Maluku. Dalam peperangan melawan VOC, Sultan Hasannudin memimpin sendiri pasukannya untuk memporak-porandakan pasukan Belanda di Maluku. Akibatnya kedudukan Belanda semakin terdesak. Atas keberanian Sultan Hasannudin tersebut maka Belanda memberikan julukan padanya sebagai Ayam Jantan dari Timur.
Upaya Belanda untuk mengakhiri peperangan dengan Makasar yaitu dengan melakukan politik adu-domba antara Makasar dengan kerajaan Bone (daerah kekuasaan Makasar). Raja Bone yaitu Aru Palaka yang merasa dijajah oleh Makasar meminta bantuan kepada VOC untuk melepaskan diri dari kekuasaan Makasar. Sebagai akibatnya Aru Palaka bersekutu dengan VOC untuk menghancurkan Makasar. Akibat persekutuan tersebut akhirnya Belanda dapat menguasai ibukota kerajaan Makasar. Dan secara terpaksa kerajaan Makasar harus mengakui kekalahannya dan menandatangai perjanjian Bongaya tahun 1667 yang isinya tentu sangat merugikan kerajaan Makasar.
Isi dari perjanjian Bongaya antara lain:
a) VOC memperoleh hak monopoli perdagangan di Makasar.
b) Belanda dapat mendirikan benteng di Makasar.
c) Makasar harus melepaskan daerah-daerah jajahannya seperti Bone dan pulau-pulau di luar Makasar.
d) Aru Palaka diakui sebagai raja Bone.
Walaupun perjanjian telah diadakan, tetapi perlawanan Makasar terhadap Belanda tetap berlangsung. Bahkan pengganti dari Sultan Hasannudin yaitu Mapasomba (putra Hasannudin) meneruskan perlawanan melawan Belanda. Untuk menghadapi perlawanan rakyat Makasar, Belanda mengerahkan pasukannya secara besar-besaran. Akhirnya Belanda dapat menguasai sepenuhnya kerajaan Makasar, dan Makasar mengalami kehancurannya.
Seperti yang telah Anda ketahui bahwa kerajaan Makasar merupakan kerajaan Maritim dan berkembang sebagai pusat perdagangan di Indonesia bagian Timur. Hal ini ditunjang oleh beberapa faktor seperti letak yang strategis, memiliki pelabuhan yang baik serta didukung oleh jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511 yang menyebabkan banyak pedagang-pedagang yang pindah ke Indonesia Timur.
6. Kerajaan Ternate - Tidore
Kepulauan Maluku terkenal sebagai penghasil rempah-rempah terbesar di dunia. Rempah-rempah tersebut menjadi komoditi utama dalam dunia pelayaran dan perdagangan pada abad 15 – 17. Demi kepentingan penguasaan perdagangan rempahrempah tersebut, maka mendorong terbentuknya persekutuan daerah-daerah di Maluku Utara yang disebut dengan Ulilima dan Ulisiwa.
Ulilima berarti persekutuan lima bersaudara yang dipimpin oleh Ternate yang terdiri dari Ternate, Obi, Bacan, Seram dan Ambon. Sedangkan Ulisiwa adalah persekutuan sembilan bersaudara yang terdiri dari Tidore, Makayan, Jailolo dan pulau-pulau yang terletak di kepulauan Halmahera sampai Irian Barat.
Antara persekutuan Ulilima dan Ulisiwa tersebut terjadi persaingan. Persaingan tersebut semakin nyata setelah datangnya bangsa Barat ke Kepulauan Maluku. Bangsa barat yang pertama kali datang adalah Portugis yang akhirnya bersekutu dengan Ternate tahun 1512. Karena persekutuan tersebut maka Portugis diperbolehkan mendirikan benteng di Ternate.
Bangsa Barat selanjutnya yang datang ke Maluku adalah bangsa Spanyol, sedangkan Spanyol sendiri bermusuhan dengan Portugis. Karena itu kehadiran Spanyol di Maluku, maka ia bersekutu dengwn Tidore. Akibat persekutuan tersebut maka persaingan antara Ternate dengan Tidore semakin tajam, bahkan menyebabkan terjadinya peperangan antara keduanya yang melibatkan Spanyol dan Portugis. Dalam peperangan tersebut Tidore dapat dikalahkan oleh Ternate yang dibantu oleh Portugis.
Keterlibatan Spanyol dan Portugis pada perang antara Ternate dan Tidore, pada dasarnya bermula dari persaingan untuk mencari pusat rempah-rempah dunia sejak awal penjelajahan samudra, sehingga sebagai akibatnya Paus turun tangan untuk membantu
menyelesaikan pertikaian tersebut.
Usaha yang dilakukan Paus untuk menyelesaikan pertikaian antara Spanyol dan Portugis adalah dengan mengeluarkan dekrit yang berjudul Inter caetera Devinae, yang berarti Keputusan Illahi. Dekrit tersebut ditandatangani pertama kali tahun 1494 di Thordessilas atau lebih dikenal dengan Perjanjian Thordessilas. Dan selanjutnya setelah adanya persoalan di Maluku maka kembali Paus mengeluarkan dekrit yang kedua yang ditandatangani oleh Portugis dan Spanyol di Saragosa tahun 1528 atau disebut dengan Perjanjian Saragosa.
Perjanjian Thordessilas merupakan suatu dekrit yang menetapkan pada peta sebuah garis perbatasan dunia yang disebut Garis Thordessilas yang membentang dari Kutub Utara ke Kutub Selatan melalui Kepulauan Verdi di sebelah Barat benua Afrika. Wilayah di sebelah Barat Garis Thordessilas ditetapkan sebagai wilayah Spanyol dan di sebelah Timur sebagai wilayah Portugis.
Sedangkan Perjanjian Saragosa juga menetapkan sebuah garis baru sebagai garis batas antara kekuasaan Spanyol dengan kekuasaan Portugis yang disebut dengan Garis Saragosa. Di mana garis tersebut membagi dunia menjadi 2 bagian yaitu Utara dan Selatan. Bagian Utara garis Saragosa merupakan kekuasaan Spanyol dan bagian Selatannya adalah wilayah kekuasaan Portugis
Dengan adanya perjanjian Saragosa tersebut, maka sebagai hasilnya Portugis tetap berkuasa di Maluku sedangkan Spanyol harus meninggalkan Maluku dan memusatkan perhatiannya di Philipina. Sebagai akibat dari perjanjian Saragosa, maka Portugis semakin leluasa dan menunjukkan keserakahannya untuk menguasai dan memonopoli perdagangan rempahrempah di Maluku.
Tindakan sewenang-wenang Portugis menimbulkan kebencian di kalangan rakyat Ternate, bahkan bersama-sama rakyat Tidore dan rakyat di pulau-pulau lainnya bersatu untuk melawan Portugis. Perlawanan terhadap Portugis pertama kali dipimpin oleh Sultan Hairun dari Ternate, sehingga perang berkobar dan benteng pertahanan Portugis dapat dikepung. Dalam keadaan terjepit tersebut, Portugis menawarkan perundingan. Akan tetapi perundingan tersebut merupakan siasat Portugis untuk membunuh Sultan Hairun tahun 1570.
Dengan kematian Sultan Hairun, maka rakyat Maluku semakin membenci Portugis, dan kembali melakukan penyerangan terhadap Portugis yang dipimpin oleh Sultan Baabullah pada tahun 1575. Perlawanan ini lebih hebat dari sebelumnya sehingga pasukan Sultan Baabullah dapat menguasai benteng Portugis.
Keberhasilan Sultan Baabullah merebut benteng Sao Paolo mengakibatkan Portugis menyerah dan meninggalkan Maluku. Dengan demikian Sultan Baabullah dapat menguasai sepenuhnya Maluku dan pada masa pemerintahannya tahun 1570 – 1583 kerajaan Ternate mencapai kejayaannya karena daerah kekuasaannya meluas terbentang antara Sulawesi sampai Irian dan Mindanau sampai Bima, sehingga Sultan Baabullah mendapat julukan ‘Tuan dari 72 Pulau’.
Secara geografi kerajaan Ternate dan Tidore berkembang sebagai kerajaan Maritim. Dan hal ini juga didukung oleh keadaan kepulauan Maluku yang memiliki arti penting sebagai penghasil utama komoditi perdagangan rempah-rempah yang sangat terkenal pada masa itu. Dengan andalan rempah-rempah tersebut maka banyak para pedagang baik dari dalam maupun luar Nusantara yang datang langsung untuk membeli rempah-rempah tersebut, kemudian diperdagangkan di tempat lain.

D. Zaman Penjajahan Belanda
1. Latar Belakang Kedatangan Belanda, VOC, Hindia Belanda
Tujuan belanda datang ke Indonesia, pertama-tama adalah untuk mengembangkan usaha perdagangan, yaitu mendapatkan rempah-rempah yang mahal harganya di Eropa. Perseroan Amsterdam mengirim armada kapal dagangnya yang pertama ke Indonesia tahun 1955, terdiri dari empat kapal, dibawah pimpinan Cornelis de Houtman. Menyusul kemudian angkatan kedua tahun 1598 di bawah pimpinan Van Nade,Van Heemskerck, dan Van Warwijck. Disamping dari Amsterdam, angkatan ketiga berangkat tahun 1599 di bawah pimpinan Van Der Hagen, dan angkatan keempat tahun 1600 di bawah pimpinan Van Neck.
Melihat hasil yang diperoleh Perseroan Amsterdam itu, banyak persoalan lain berdiri yang juga ingin berdagang dan berlayar ke Indonesia. Pada bulan Maret 1602 perseroan-perseroan itu bergabung dan di sahkan oleh Staten-General Republik dengan satu piagam yang memberi hak khusus kepada perseroan gabungan tersebut untuk berdagang, berlayar, dan memegang kekuasaan di kawasan antara Tanjung Harapan dan Kepulauan Solomon, termasuk kepulauan Nusantara. Perseroan itu bernama Vereenigde Oost Indische Compagnie ( VOC).
Pada tahun 1798, VOC dibubarkan dengan saldo kerugian sebesar 134,7 juta gulden. Sebelumnya, pada 1795 izin operasinya dicabut. Kemunduran, kebangkrutan dan dibubarkannya VOC disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain pembukuan yang curang, pegawai yang tidak cakap dan korup, hutang besar, dan sistem monopoli serta sistem paksa dalam pengumpulan bahan-bahan/hasil tanaman penduduk menimbulkkan kemerosotan moril baik para penguasa maupun penduduk yang sangat menderita.
Dan bubarnya VOC, pada pergantian abad ke-18 secara resmi Indonesia pindah ketangan pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda ini berlangsung sampai tahun 1942, dan hanya diinterupsi pemerintah Inggris selama beberapa tahun pada 1811-1816.
2. Penetrasi Politik Belanda
VOC sejak semula memang diberi izin oleh pemerintah Belanda untuk melkakukan kegiatan politik dalam rangka mendapatkan hak monopoli dagang di Indonesia. Oleh karena itu, VOC dibantu oleh kekuatan militer dan armada tentara serta hak-hak yang bersifat kenegaraan, mengadakan perjanjian politik, dan sebagainya. Dengan perlengkapan yang lebih maju, VOC, melakukan politik ekspansi. Boleh dikata, abad ke-17dan 18 adalah periode ekspansi dan monopoli dalam sejarah kolonial di Indonesia. Menjelang akhir abad ke-18 ekspansi wilayah ini berhasil di Jawa.
Sejak pergantian antara VOC dengan pemerintahan belanda tidak mengadakan perubahan yang berarti. Bahkan pada tahun 1816, Belanda malah memanfaatkan daerah jajahan untuk memberi keuntungan sebanyak-banyaknya kepeda negeri induk, guna menanggulangi masalah ekonomi Belanda yang sedang mengalami kebangkrutan akibat perang, hal ini menimbulkan perlawanan dari pihak yang merasa dijajah seperti Kerajaan Banten yang pada saat itu Rajanya adalah Sultan Ageng Tirtayasa, tetapi ini tetapi ini dapat dipatahkan dengan mengadu domba antara Anak Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Haji dengan ayahnya sendiri yaitu Sultan Ageng Tirtayasa dan masih banyak lagi.
Ini dapat dibuktikan dengan adanya hikayat-hikayat pada masa kerajaan-kerajaan Islam yang syair-syairnya berisikan perjuangan. Ulama-ulama menggelorakan Jihad melawan kaum kafir yaitu penjajah Belanda. Belanda mengalami kewalahan yang akhirnya menggunakan strategi-strategi:
 Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan Ulama dengan adat contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.
 Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar seorang Guru Besar keIndonesiaan di Universitas Hindia Belanda juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah, dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.
Contoh perlawanan terhadap penjajahan belanda yaitu:
 Perang paderi di minangkabau
 Perang Diponegoro
 Perang Banjarmasin
 Perang Aceh
3. Politik Islam Hindia Belanda
Indonesia merupakan negeri berpenduduk mayoritas muslim.Agama Islam secara terus menerus menyadarkan pemeluknya bahwa mereka harus membebaskan diri dari cengkraman pemerintah kafir. Oleh karena itu, agama Islam dipelajari secara ilmuah di negeri Belanda. Seiring dengan itu, disana juga diselenggarakan indologie,ilmu untuk mengenal lebih jauh seluk beluk penduduk Indonesia. Semua itu dimaksudkan untuk mengukuhkan kekuasaan Belanda di Indonesia.
Hasil dari pengkajian itu, lahirlah apa yang dikenal dengan “politik Islam”. Tokoh utama dan peletak dasarnya adalah Prof. Snouck Hurgronje. Dia berada di Indonesia antara tahun 1889dan 1906. berkat pengalamannya di Timur Tengah, sarjana sastera Semit ini berhasil menemukan suatu pola dasar bagi kebijaksanaan menghadapi Islam di Indonesia, yang menjadi pedoman bagi pemerintah Hindia Belanda, terutama bagi Adviseur voor Inlandsche zaken,lembaga penasihat gubernur Jenderal tentang segala sesuatu mengenai pribumi.


E. Gerakan Reformasi dan Medernisasi Islam di Indonesia
Sejak datangnya Islam di Indonesia yang disiarkan oleh para mubaligh khusunya di Jawa oleh Walisanga, masyarakat sangat dijiwai oleh keyakinan agama, khususnya Islam. Sejarah telah mencatat pula, bahwa Islam yang datang di Indonesian ini sebagainya adalah dibawah dari India. Campuran Islam dengan elemen-elemen Hindu menambah mudah tersiarnya agama itu dikalangan masyarakat Indonesia, teristimewa masyarakat Jawa, karena sudah lama kenal akan ajaran-ajaran Hindu itu.
Sebagian besar tersiarnya Islam di Indonesia ini adalah hasil pekerjaan kaum sufi dan mistik. Sesungguhnya adalah sufisme dan mistisisme Islam, bukannya ortodoksi Islam di Indonesia yang meluaskan pengaruhnyadi Jawa dan di sebagian Sumatera. Kita mengerti, bahwa golongan sufi dan mistik ini dalam beberapa segi toleran terhadap adapt kebiasaan yang hidup dan berjalan di tempat itu, yang sebenarnya belum tentu sesuai dengan ajaran-ajaran tauhid.
Jadi untuk memurnikan agama Islam tersebut diperlukan gerakan-gerakan, maka lahirlah gerakan pembaharuan dan pemurnian agama Islam di beberapa tempat di Indonesia, yang satu sama lain mempunyai penonjolan perjuangan dan sifat yang berbeda-beda, akan tetapi secara keseluruhan mereka mempunyai cita-cita yang sama dan tunggal, yaitu Izzul Islam wal Muslimin (kejayaan agama Islam dan kaum Muslimin).
Gerakan-gerakan tersebut, umumnya terbagi dalam dua golongan yaitu Gerakan modernis dan Gerakan reformis. Yang dimaksud dengan gerakan modernis ialah gerakan yang menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya. Jadi semua gerakan Islam tersebut dapat digolongkan sebagai gerakan modernis. Sedangkan gerakan reformis, berarti di samping gerakan ini menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya, juga berusaha memurnikan Islam dan membangun kembali Islam dengan pikiran-pikiran baru, sehingga Islam dapat mengarahkan dan membimbing umat manusia dalam kehidupan mereka. Misalnya: Muhammadiyah, Persatuan Islam dan Al Irsyad.
1. Sarekat Islam
Sebelum menjadi Sarekat Islam, pada mulanya berasal dari organisasi dagang yang bernama Sarekat Dagang Islam. Didirikan pada 1911 oleh seorang pengusaha batik terkenal di Sala, yaitu Haji Samanhudi. Anggota-anggotanya terbatas pada para pengusaha dan pedagang batik, sebagai usaha untuk membela kepentingan mereka dari tekanan politik Belanda dan monopoli bahan-bahan batik oleh para pedagang Cina. Kemudian akibat pelarangan terhadap Sarekat Dagang Islam oleh Residen Surakarta, maka pada 1912 kedudukannya dipindah ke Surabaya dan namanya pun berganti menjadi Sarekat Dagang Islam.
Sarekat Islam dipimpin oleh Haji Umar Said Cokroaminoto. Dan di bawah kepemimpinannya Sarekat Islam berkembang menjadi sebuah organisasi besar dan berpengaruh. Anggota-anggotanya semakin banyak meliputi lapisan masyarakat dan cabang-cabangnya berdiri di mana-mana.
Karena sarekat Islam diselundupi oleh orang-orang komunis yang tergabung dalam organisasi Indische Sosial Democratische Vereniging (ISDV) pimpinan Sneevliet, seorang kader komunis yang berasal dari negeri Belanda, akhirnya tak dapat mengelakkan diri dari pepecahan, dan menjadilah SI Putih dan SI Merah yang beraliran komunis. Sarekat Islam Putih kemudian meningkatkan diri menjadi satu organisasi politik Partai Sarekat Islam Indonesia yang diremiskan pada tahun 1929.
2. Muhammadiyah
Sejak tahun 1905, Kyai Haji Ahmad Dahlan telah banyak melakukan dakwah dan pengajian-pengajian yang berisi faham baru dalam Islam dan menitikberatkan pada segi amaliyah. Baginya, Islam adalah agama amal, suatu agama yang mendorong umatnya untuk banyak melakukan kerja dan berbuat sesuatu yang bermanfaat. Dan bekal pedalaman beliau terhadap Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sampai pada pendiirian dan tindakan yang banyak bersifat pengamalan Islam dalam kehidupan nyata.
Dari kajian-kajian Kyai Haji Ahmad Dahlan, akhirnya timbul pertanyaan kenapa banyak gerakan-gerakan Islam yang tidak berhasil dalam usahanya? Hal ini tidak lain disebabkan banyak orang yang bergerak dan berjuang tetapi tidak berilmu luas serta sebaliknya banyak orang yang berilmu akan tetapi tidak mau mengamalkan ilmunya.
Atas dasar keyakinannya itulah, Kyai Haji Ahmad Dahlan, pada tahun 1911 mendirikan “Sekolah Muhammadiyah” yang menempati sebuah ruangan denga meja dan papan tulis. Dalam sekolah tersebut, dimasukkan pula beberapa pelajaran yang lazim diajarkan di sekolah-sekolah Barat, seperti ilmu bumi, ilmu alam, ilmu hayat dan sebagainya. Begitu pula diperkenalkan cara-cara baru dalam pengajaran ilmu-ilmu keagamaan sehingga lebih menarik dan lebih menyerap. Dengan murid yang tidak begitu banyak, jadilah sekolah Muhammadiyah tersebut sebagai tempat persemaian bibit pembaharuan dalam Islam di Indonesia.
Dan sebagai puncaknya berdirilah Gerakan Muhammadiyah pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 yang bertepatan dengan tanggal 18 November 1912, yang di dalam Anggaran Dasarnya yang pertama kali bertujuan: “Menyebarkan Pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad saw kepada penduduk bumi-putera, di dalam residensi Yogyakarta” serta “Memajukan hal agama Islam kepada sekutu-sekutunya”.
3. Al-Irsyad
Dalam Jami’at Khair, timbul suatu perbedaan pendapat yang cukup tajam, terutama persoalan “kafa’ah”, yaitu saha tidaknya golongan Arab keturunan Sayid (keluarga Nabi) kawin dengan golongan lainnya. Dalam hal ini Syekh Ahmad Surkati berpendapat boleh, dan tetap kufu atau seimbang. Ia mengemukakan alasan dengan ayat Al-Qur’an bahwa “yang paling mulia di antara kamu sekalian di sisi Allah adalah yang paling taqwa” (Al-Hujarat 13). Selain itu terdapat banyak bukti bahwa para sahabat kawin satu sama lain tanpa memandang keturunan Sayyid atau tidaknya.
Ternyata pendapat ini menimbulkan ketidaksenangan golongan Arab seketurunan dengan Sayidina Ali, keluarga Nabi, dan berakhir dengan perpecahan. Kemudian Syekh Ahmad Sukarti pada tahun 1914 mendirikan perkumpulan Al Ishlah wal Irsyad. Maksudnya ialah memajukan pelajaran agama Islam yang murni di kalangan bangsa Arab di Indonesia. Dan sebagai amaliyahnya berdirilah beberapa perguruan Al-Irsyad di mana-mana, di antaranya pada tahun 1915 di Jakarta. Selain itu banyak bergerak dalam bidang sosial dan dakwa Islam dengan dasar Al-Qur’an dan Sunnah Rasul secara murni dan konsekuen.
4. Persatuan Islam
Persatuan Islam (Persis) didirikan di Bandung pada 17 September 1923 oleh K.H. Zamzam, seorang ulama berasal dari Palembang. Persis bertujuan mengembalikan kaum muslimin kepada pimpinan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi dengan jalan mendirikan madrasah-madrasah, pesantren dan tabligh melalui pidato ataupun tulisan. Selain itu, menerbitkan pulah majalah yang cukup menonjol pada zamannya, yaitu “Pembela Islam” dan majalah al Muslimin. Persis sangat menonjol dalam usahanya memberantas segala macam bid’ah dan khufarat, denga cara-cara yang radikal dan tidak tanggung-tanggung. Lebih-lebih setelah Persis berada dalam kepemimpinan ustadz A. Hasan, yang terkenal tajam pena dan lidahnya menegakkan kemurnian agama, maka Persis semakin hari semakin bertambah luas dan berkembang. Diantara alumni pendidikan Persis yang terkemuka adalah M. Natsir, seorang tokoh cendekiawan dan pemimpin Islam Indonesia yang juga pernah menjadi Perdana Menteri RI dan menduduki jabatan-jabatan penting dalam Lembaga Islam Internasional.
5. Nahdatul Ulama
Nahdatul Ulama didirikan pada tanggal 31 Januari 1926 di Surabaya, sebagai reaksi terhadap berdirinya gerakan reformasi dalam Islam di Indonesia, dan mempertahankan salah satu Mazhab Hanafi, mazhab Maliki, mazhab Syafii dan mazhab Hambali. Dalam hal I’tiqad berpegang pada aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Yang mewujudkan Nahdatul Ulama sebagai organisasi adalah Kyai Haji Abdul Wahab Hasbullah, sedangkan ketua pertama serta pengisi jiwanya adalah Kyai Haji Hasyim Asy’ari.
Sebagai Jam’iyyah, Nahdatul Ulama bergerak dalam bidang social dan pendidikan terutama penyiaran agama Islam menurut faham Ahlus Sunnah wal Jamaa’ah. Dengan usaha itu Nahdatul Ulama banyak memiliki pondok serta madrasah-madrasah yang mempunyai siswa cukup besar dan pendukung yang sangat banyak, terutama sekali uamt Islam di pedesaan, karena umumnya memiliki tradisi keagamaan yang cukup kuat.
6. Jami’atul Washliyah
Jami’atul Washliyah didirikan di Medan pada 30 November 1930 oleh siswa-siswa Al-Maktab al-Islamiyah dan Madrasah Al-Hasaniyah yang masing-masing di bawah pimpinan Syekh Muhammad Yunus dan Syekh Hasan Ma’sum.
Seperti Nahdatul Ulama, Jami’atul Washliyah berpegang kepada salah satu dari mazhab empat, dalam hal ini adalah mazhab Syafii. Atas usaha-usaha dakwanya banyak suku-suku Batak memeluk agama Islam. Selain itu angkatan mudanya banyak yang berpikiran maju dan meneruskan studi ke luar negeri.

F. Perjuangan Kemerdekaan Umat Islam Zaman Penjajahan Jepang
Di masa pendudukan Jepang, dilakukan strategi untuk memecah-belah kesatuan kekuatan umat oleh pemerintahan Jepang dengan membentuk kementrian Sumubu (Departemen Agama). Jepang meneruskan strategi yang dilakukan Belanda terhadap umat Islam. Ada seorang Jepang yang faham dengan Islam yaitu Kolonel Huri, ia memotong koordinasi ulama-ulama di pusat dengan di daerah, sehingga ulama-ulama di desa yang kurang informasi dan akibatnya membuat umat dapat terbodohi.
Pemerintahan pendudukan Jepang memberikan fasilitas untuk kemerdekaan Indonesia dengan membentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan dilanjuti dengan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan lebih mengerucut lagi menjadi Panitia Sembilan, Panitia ini yang merumuskan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagram Jakarta merupakan konsensus tertinggi untuk menggambarkan adanya keragaman Bangsa Indonesia yang mencari suatu rumusan untuk hidup bersama. Tetapi ada kalimat yang kontroversi dalam piagam ini yaitu penghapusan “7 kata “ lengkapnya kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya” yang terletak pada alinea keempat setelah kalimat Negara berdasarkan kepada Ketuhan Yang Maha Esa.

G. Organisasi Politik dan Organisasi Sosial Islam Dalam Suasana Indonesia Merdeka
1. Masa Revolusi Dan Demokrasi Liberal
Dalam masa-masa revolusi, konflik ideologi tidak begitu jelas, tetapi dapat dirasakan dean disaksikan melalui pergantian-pergantian kabinet yang silih berganti. Baru setelah pemilihan Umum pertama 1955, di dalam konstituante hasil pemilu itu, dialog ideologi kembali muncul secara terbuka, seperti yang terjadi dalam BPUPKI.
Tiga kekuatan ideologi di atas memunculkan tiga alternatif dasar Negara: Islam, Pancasiladan Sosial Ekonomi. Tetapi dalam perjalanan siding-sidang kontituante itu, perdebatan ideologis mengenai dasar negara terkristal menjadi Islam dan Pancasila. Dalm Pemilu 1955, tidak satupun di antara alkiran-aliran pokoka dalam masyarakat Indonesia itu yang tampil sebagi pemenang. Yang muncul adalah suatu perimbangan kekuatan yang mengharuskan adanya kompromi dalam bidang politik.
2. Masa Demokrasi Terpimpin
Dengan bubarnya Masyumi, partai Islam tinggal NU, PSII, dan Perti., sebagaimana juga partai-partai lain, mulai menyesuaikan diridengan keinginan Soekarnoyang tampaknya mendapat dukungan dari dua pihak yang bermusuhan:ABRI dan PKI. Langkah akomodatif NU dan partai Islam lain itu bahkan selalu disandarkan pada ajaran agama, al-qur’an adakalanya dipergunakan sebagai rujukan dalam sokongan ini. NU sebelumnya memang sudah memberi gelar kepada Soekarno, Waliy al-Amr al-Dharuri bi al-Syaukah. Untuk menyenangkan hati Soekrno.
Walaupun partai-partai Islam itu melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap kebijaksanaan Soekarno, tetapi secara keseluruhan peranan partai-partai Islam mengalami kemerosotan. Tak ada jabatan menteri berposisi penting yang diserahkan kepada Islam sebagaimana yang terjadi pada masa Demokrasi Parlementer. Satu-satunya kepentingan Islam yang diluluskan adalah keputusan MPRS tahun 1960yang memberlakukan pengajaran agamadi universitas dan perguruan tinggi.
3. Masa Orde Baru
Setelah Orde Lama hancur, kepemimpinan Indonesia berada di tangan Orde Baru. Tumbangnya Orde Lama memberikan harapan-harapan baru kepada kaum muslimin. Namun, kekecewaan baru pun muncul di masa Orde Baru ini. Umat Islam merasa, meskipun musuh bebuyutannya, komunis, telah tumbang, kenyataan berkembang tidak seperti yang diharapkan. Rehabilitasi Masyumi, partai Islam berpengaruh yang dibubarkan Soekarno, tidak diperkenankan. Bahkan tokoh-tokohnya juga tidak diizinkan aktif dalam Partai Muslim Indonesia (Parmusi) yang didirikan kemudian.
Orde Baru memang sejak semula mencanangkan pembaharuan sistem politik. Pada tanggal 26 November 1966, dengan sebuah amanat dari Presiden, disampaikan kepada DPRGR: RUU kepartaian, RUU Pemilu dan RUU Susunan MPR, DPRdan DPRD. Yang kedua dan ketiga ditetapkan 22 November 1969. sedang yang lama terhenti. Pada 9 Maret 1970, fraksi-fraksi parpol di DPR dikelompokkan. Tiga tahun kemudian, Parpol difusikan ke dalam PPP dan PDI (5 Februari 1973). Pada 14 Agustus 1975 RUU kepartaian disahkan. Penataan kehidupan kepartaian berikutnya adalah penetapan asas tunggal, Pancasila, untuk semua Parpol, Golkar, dan organisasi lainnya, tidak asas ciri, tidak ada lagi ideologi Islam, dan oleh karena itu tidak ada lagi partai Islam.
Asas tunggal merupakan awal dari era baru peran Islam dalam kehidupan berbangsa ini. Peran politik (formal) Islam tidak ada lagi, tetapi sebagai agama yang mengaku tidak memisahkan diri dari persoalan politik, tentu peran itu akan terus berlangsung. Mungkin dengan pendekatan berbeda.

4. Islam di Masa Pemerintahan Orde Baru
Kegiatan Islam semakin berkembang bila dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. Terlihat, ada tanda-tanda kebangkitan Islam kemabli dalam masa Orde Baru ini. Fenomena yang sangat bias dilihat adalah munculnya bangunan-bangunan baru Islam: mesjid-mesjid, mushallah-mushallah, madrasah-madrasah, juga pesantren-pesantren.
Indikasi kebangkitan kembali Islam itu juga terlihat dikampus-kampus perguruan tinggi. Sebagian besar perguruan tinggi mempunyai mesjid atau mushallah. Selama bulan Ramadhan, organisasi kemahasiswaan di kampus-kampusmenyelenggarakan kegiatan pesantren “kilat”, dan kegiatan-kegiatan Ramadhan lainnya, seperti: aktivitas social keagamaan, puitisasi al-qur’an, dramadan pagelaran seni Islamilainnya, di samping tarawih, taddarus dan kuliah-kuliah keagamaan.
Disamping itu, sejak decade 1970-an juga banyak bermunculan apa yang disebut intelektual muda muslim, meskipun sering controversial, melontarkan ide-ide segar untuk masa depan umat. Kebanyakan mereka adalah intelektual muslim berpendidikan “umum”. Yang terakhir ini sangat mungkin adalah buah dari kegiatan-kegiatan organisasi mahasiswa Islam seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM).










BAB III
KESIMPULAN

Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai daerah di daratan Asia tenggara seperti rekonstruksi masuknya Islam ke Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori Persia.
Proses penyebaran Islam di Indonesia atau proses Islamisasi tidak terlepas dari peranan para pedagang, mubaliqh/ulama, raja, bangsawan atau para adipati. Di pulau Jawa, peranan mubaliqh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali yang dikenal dengan sebutan Walisongo atau wali sembilan.
Menurut Uka Tjandrasasmita, saluran-saluran islamisasi yang berkembang ada enam, yaitu:
1. Saluran Perdagangan
2. Saluran Pernikahan
3. Saluran Pendidikan (pesantren)
4. Saluran Seni dan budaya
5. Saluran Tasawwuf
6. Saluran Politik
Strategi-strategi Belanda di Indonesia:
 Politik devide et impera, yang pada kenyataannya memecah-belah atau mengadu domba antara kekuatan Ulama dengan adat contohnya perang Padri di Sumatera Barat dan perang Diponegoro di Jawa.
 Mendatangkan Prof. Dr. Snouk Cristian Hourgonye alias Abdul Gafar seorang Guru Besar keIndonesiaan di Universitas Hindia Belanda juga seorang orientalis yang pernah mempelajari Islam di Mekkah, dia berpendapat agar pemerintahan Belanda membiarkan umat Islam hanya melakukan ibadah mahdhoh (khusus) dan dilarang berbicara atau sampai melakukan politik praktis. Gagasan tersebut dijalani oleh pemerintahan Belanda dan salah satunya adalah pembatasan terhadap kaum muslimin yang akan melakukan ibadah Haji karena pada saat itulah terjadi pematangan pejuangan terhadap penjajahan.
Gerakan modernis ialah gerakan yang menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya. Jadi semua gerakan Islam tersebut dapat digolongkan sebagai gerakan modernis. Sedangkan gerakan reformis, berarti di samping gerakan ini menggunakan organisasi sebagai alat perjuangannya, juga berusaha memurnikan Islam dan membangun kembali Islam dengan pikiran-pikiran baru, sehingga Islam dapat mengarahkan dan membimbing umat manusia dalam kehidupan mereka. Misalnya: Muhammadiyah, Persatuan Islam dan Al Irsyad.

















DAFTAR PUSTAKA

Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto (Ed.). 1984. Sejrah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka.
Uka Tjandrasaamita (Ed.). 1984. Sejarah Nasional Indonesia III. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Saiful Muzani. 1993. Pembangunan dan kebangkitan Islam di Asia Tenggara, Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia.
M.C. Ricklefs. 1995. Sejarah Indonesia modern. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
A. Hasymy. 1989. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia. Jakarta: PT Almaarif.
H. J. Graaf dan Th. G. Th. Pigeud. 1985. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa. Jakarta: Grafiti pers.
Sartono Kartodirdjo. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900, jilid I. Jakarta: Gramedia.
H. J. de Graaf. 1987. Awal Kebangkitan Mataram, Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta: Grafiti pers.
Yusmar Basri. 1984. Sejarah Nasional Indonesia V. Jakarta: Balai Pustaka.
Taufik Abdullah (ED). 1991. Sejarah Umat Islam Indonesia. Jakarta: MUI.
H. Aqib Suminto. 1986. Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES.
HJ Benda. 1980. Bulan Sabit dan Matahari Terbit. Jakarta: Pustaka Jaya.
A. Mukti Ali. 1985. Interpretasi Amalan Muhammadiyah. Jakarta: Harapan Melati.
Deliar Noer. 1980. Partai Islam di Pentas Nasional. Grafiti Pers.
Drs. Susanto Tirtoprodjo. 1982. PT. Pembangunan.
Musthafa Kamal Pasha, Ahmad Adaby Darban. 2000. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam (dalam Perspektif Historis dan Ideologis). Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar